Lalu, keluarga Mas Aji akan dengan mudah kembali menyalahkan aku jika kelak di kemudian hari ada masalah? Begitukah? Tidak bisakah Mas Aji bertanggung jawab sendiri atas apa yang sudah Mas putuskan? Kenapa selalu Mas limpahkan ke pundakku setiap permasalahan dan tanggung jawab yang harus kita ambil? keluh Puniawati dalam hati. Hatinya ingin berontak, tapi lidahnya kaku, diam.
“Aku ingin Mas Aji melakukan yang Mas sukai,” jawab Puniawati akhirnya.
Aji mendengus, tak puas dengan jawaban Puniawati. Matanya menatap tajam menuntut jawaban. Dia merasa belum dapat berpikir dengan jernih, maka dia merasa berhak menuntut, istrinyalah yang harus memilih.
Kembali Puniawati menghela napas panjang, masih tak dia temukan arah dari pertanyaan suaminya. Puniawati terlihat semakin lelah, mungkin karena harus selalu mengulang jawaban yang sama. Pada setiap persoalan, Puniawati merasa belum pernah ada di posisi yang nyaman.
Maka kali ini dia memutuskan untuk lebih berhati-hati dalam menjawab pertanyaan suaminya. Pengalaman membuatnya banyak belajar, bagaimana harus menyikapi pelemparan tanggung jawab yang selama ini lebih sering membuatnya tersudut dan salah.
Persoalan Reno bukan dia yang memutuskan. Tanpa bertanya dan meminta persetujuannya, tiba-tiba Aji membawa Reno ke kantor untuk menempati posisi yang sama sekali di luar keahlian adiknya.
Puniawati sangat mengerti dan sangat bersyukur atas niat baik suaminya, tapi tidak lantas yang berisiko. Puniawati sangat tidak setuju saat itu dan semua sudah terlambat ketika dia mencoba mencari tahu, apa sebenarnya yang telah terjadi.
Sampai tiba-tiba udara di sekelilingnya menjadi panas dan sempit, hampir tak ada ruang untuk bergeser atau menghimpun ketenangan agar bisa mencerna masalah dengan baik. Adiknya dituduh korupsi, keluarganya merasa tersinggung dan marah padanya.
Baca Juga: 2021 Empat Ruas Tol Sudah Dijual, Hingga 2025 Waskita Akan Kembali Lepas Sejumlah Ruas Tol
Keluarga suaminya pun tak kalah marah dan merasa dirugikan. Semua menjadi pemarah dan suaminya tiba-tiba tak mau lagi bekerja. Puniawati hanya bisa bertanya dalam hati, ada apa?
“Kamu istriku, mustahil tak punya keinginan dan impian tentang bagaimana masa depan kita kelak. Lagian, apa susahnya sih, kasih pendapat buat suami?” kejar Aji memecah hening.
"Bagiku keduanya sama, Mas,” jawab Puniawati, mencoba mencari kalimat yang pas.
“Masing-masing mempunyai kekurangan dan kelebihan. Kalau Mas Aji kerja di kantor, uang kita banyak dan sudah dapat dipastikan kapan datangnya, bahkan bisa jadi makin berlimpah karena pendapatan kita berasal dari berbagai sumber. Gaji Mas, hasil usaha kita, itu lebih dari cukup. Makanya, aku bisa menyalurkan sebagian dari rezeki itu untuk orang lain yang membutuhkan."
Puniawati berhenti sejenak, menatap suaminya yang masih diam. Mata itu semakin kelam dilihatnya, tak ada reaksi atas apa yang diucapkannya. Tidak dengan kalimat, tidak juga dalam sorot mata.
Artikel Terkait
Monolog Sepatu Bekas
Wanita Jalang
Cerita Mistis dan Teror Rumah Angker di Lereng Lawu Bagian Dua
Cerita Mistis dan Teror Rumah Angker di Lereng Lawu Bagian Tiga
Cerita Mistis Makam Keramat Murid Pangeran Diponegoro di Sleman
Cerita Mistis di Parangkusumo, Kisah Para Pengabdi Ratu Pantai Selatan
Cerita Mistis dari Bali, Sakralnya Pemujaan pada Ratu Ayu Mas Subandar
Cerita Mistis di Balik Gedung Tinggi, Siksaan Pasang Susuk dan Terkena Santet
Cerita Mistis Bali, Jangan Lakukan Hal Ini di Bali jika Anda Ingin Selamat!
Novel Melukis Langit 1, Memeluk Prahara