Melodi yang Tidak Selesai

photo author
- Jumat, 22 November 2024 | 07:04 WIB
Ilustrasi (Pixabay/TravelCoffeeBook)
Ilustrasi (Pixabay/TravelCoffeeBook)

KLIKANGGARAN-- Namaku Lira, aku bukan siapa-siapa di keluargaku. Ayah dan ibu adalah musisi terkenal, sementara adikku adalah seorang jenius piano yang dipuja-puja. Dan aku? Aku bahkan tidak bisa membaca notasi musik dengan benar. Orangtuaku menaruh ekspektasi besar saat aku dilahirkan. Anak perempuan pertama dari pasangan musisi ternama—ayah seorang komposer berbakat, ibu seorang pianis virtuoso. Mereka membayangkan aku akan menjadi jenius kecil yang melanjutkan nama besar keluarga. Tapi pada kenyataannya, aku hanya anak biasa. Aku tidak berbakat. Setiap kali aku mencoba bermain piano, jariku kaku, suaranya sumbang. Saat ayah mengajariku membaca partitur, aku selalu melakukan kesalahan hingga akhirnya dia menyerah. “Haahh.... Bagaimana bisa kamu tidak punya bakat? padahal aku dan ibumu adalah jenius musik. Mungkin sebaiknya kamu tidak menyentuh piano lagi,” katanya, kecewa. Mereka tidak pernah menyebutku langsung sebagai "aib", tapi aku tahu itulah yang mereka pikirkan. Setiap kali adik laki-lakiku memainkan piano, aku duduk diam di luar pintu ruang musik. Tidak pernah berani masuk, tidak lagi setelah ayah membanting tanganku ke tuts piano bertahun lalu karena permainanku terlalu buruk. Meski begitu, aku tidak membenci musik. Aku mencintainya, meski musik tak pernah mencintaiku.

Di sekolah, beberapa murid bercerita tentang ruangan musik di gedung kedua yang katanya memiliki penunggu. Ruangan itu sudah jarang digunakan setelah dibagunnya ruangan musik baru di gedung utama. Aku tidak terlalu peduli dengan apa mereka bicarakan, toh aku juga tidak berniat memasuki ruangan musik. Sampai suatu sore, guruku memintaku mengambil berkas di kantor yang hanya beberapa pintu dari ruang musik itu. Langit mulai berwarna oranye ketika aku selesai mengambil berkas. Saat berjalan kembali, langkahku terhenti oleh suara piano yang mengalun lembut dari ruang musik berhantu itu. Aku tahu seharusnya aku pergi, tapi musik itu... indah. Aku duduk di samping pintu, mendengarkan alunan nadanya. Namun, lagu itu terhenti di tengah, menggantung tanpa akhir. Rasa penasaranku tidak bisa diabaikan. Aku mengintip melalui celah pintu. Kosong. Tidak ada siapa pun. Apakah yang memainkan musik tadi hantu penunggu ruangan ini? hm, terlalu tidak masuk akal untuk terjadi.

Rasa penasaran yang lebih besar dari rasa takut, membuatku kembali ke depan ruang musik gedung kedua tersebut di waktu yang sama. Seperti sebelumnya, musik itu terdengar lagi, tapi lagi-lagi berhenti di tengah. Pada hari ketiga, aku memutuskan untuk membuka pintu ruangan itu. Di dalam gelap dan kosong, kecuali piano tua di sudut ruangan, menghadap ke jendela. Duduk di depan piano itu,sosok seorang laki-laki seumuran denganku, tubuhnya transparan. Sosok itu menoleh saat aku masuk, jelas terkejut. “Kamu bisa melihatku?” tanyanya dengan suara pelan. Aku terlalu terkejut untuk menjawab, tapi aku mengangguk. Ternyata dugaan tidak masuk akalku benar. Dia tersenyum kecil, lalu kembali menatap piano. “Aku tidak menyangka ada yang bisa mendengar musikku, apalagi melihatku.” ucapnya masih dengan wajah terkejut. "Akupun juga tidak pernah menyangka akan melihat hantu bermain musik yang indah. " jawabku sembari melangkah masuk.

Mungkin karena hantu tersebut terlihat seperti seorang manusia normal—namun transparan, aku tidak terlalu takut dan mendekatinya. Lima menit pertama, aku hanya diam, menunggu sosok transparan itu membuka mulutnya. "Jadi.... mengapa kamu memutuskan untuk membuka pintu itu? aku tahu sudah dua hari ini kamu duduk di samping pintu itu, mendengarku bermain." sosok laki-laki itu memulai percakapan. "Aku hanya penasaran. Lagu yang kamu mainkan sangat indah, mengapa selalu berhenti di tengah-tengah?". Kami mulai berbincang, aku duduk di atas meja dekat piano tua dan dia mulai bercerita tentang dirinya. Namanya Mika. Dia adalah siswa di sekolah ini bertahun-tahun lalu. Dia mencintai musik seperti aku mencintainya—dari hati, bukan dari tuntutan ataupun paksaan.

Mika melanjutkan ceritanya, “Aku sedang menulis lagu untuk adikku yang sakit. Aku menulis lagu itu di ruangan ini, aku ingin mengejutkannya dengan lagu ini. ” katanya dengan suara rendah. “Dia menderita kanker tulang. Dokter bilang sangat kecil kesempatannya untuk sembuh. " Dia menghela napas panjang, pandangannya menerawang ke arah jendela. “Ironis, bukan? Aku menciptakan lagu untuk memberinya kekuatan, berpikir waktunya di dunia ini begitu singkat. Tapi justru aku yang lebih dulu pergi. Sebelum lagu itu selesai" Mika menghela nafas sambil tertunduk."Saat pulang sekolah, aku berniat mengunjungi adikku di rumah sakit. Namun takdir berkata lain, aku tertabrak mobil saat sedang menyebrang. Sejak itu, aku terjebak di sini, memainkan melodi yang tak pernah selesai ini berulang-ulang.”

Hatiku seperti diremas mendengar ceritanya. “Apa kamu tahu bagaimana kabar adikmu sekarang?” tanyaku. Dia menggeleng dan menundukkan kepalanya. “Aku....tidak memiliki keberanian untuk menerima kenyataan kalau dia sudah meninggalkan dunia ini tanpa mengetahui aku menulis lagu ini untuknya." Dia terdiam selama beberapa saat. aku menatap tubuh transparan itu, menunggu kata-kata selanjutnya. "Beberapa tahun sudah terlewati sejak kematianku, aku tidak tahu apakah adikku berhasil mengalahkan penyakitnya dan hidup normal atau sudah berada di surga . Aku ingin menyelesaikan lagu ini untuknya. Tapi setiap kali aku mencoba, aku terhenti. Aku tidak tahu bagaimana mengakhirinya.”.

Melalui kata-katanya, Aku bisa merasakan rasa sakit dan penyesalan, rasa ketidakberdayaan yang dia simpan selama bertahun-tahun. “Mika...” gumamku pelan. “Mungkin aku bisa membantu.” Dia menoleh padaku, kaget. “Membantu? Bagaimana caranya? Kamu bilang sendiri kamu tidak berbakat dalam musik.” Aku terdiam, jantungku berdegup kencang. Aku tahu permainanku tidak sebaik dia atau adikku, tapi ini bukan tentang bakat. Ini tentang niat. Tentang menyampaikan pesan yang tidak bisa dia selesaikan. "Aku tahu aku bukan musisi yang hebat,” ucapku pelan, berusaha meyakinkan diriku sendiri. “Tapi aku bisa merasakan apa yang ingin kamu sampaikan melalui lagu ini. Jika kamu mengizinkan, aku ingin membantumu menyelesaikannya dan menyampaikan pesanmu pada adikmu.” Mika memandangku dengan tatapan ragu. Namun setelah beberapa detik, keraguan itu menghilang, tergantikan oleh senyum hangat. “Baiklah,” katanya akhirnya. “Kita akan mencobanya bersama." aku mengepalkan tangan bersemangat, yess!.

Hari-hari berikutnya, aku terus kembali ke ruang musik di gedung kedua. Setiap sore, saat matahari mulai tenggelam, aku duduk di depan piano, sementara Mika berdiri di sampingku, membimbingku menyusun melodi yang belum selesai. Awalnya sulit. Aku tidak terbiasa dengan ritme dan harmoni yang rumit, dan terkadang aku frustrasi ketika melodi yang kumainkan tidak seperti yang dia bayangkan. “Jangan terlalu keras pada dirimu sendiri,” kata Mika dengan lembut ketika aku salah memainkan nada. “Musik bukan soal kesempurnaan, tapi tentang perasaan. Dengarkan pesannya, biarkan mengalir dari hatimu.” Kata-katanya membuatku terdiam. Selama ini, aku selalu menganggap musik sebagai beban, sesuatu yang harus sempurna untuk memenuhi ekspektasi orang tuaku. Setiap latihan terasa seperti perlombaan, bukan ungkapan perasaan. Tapi di sini, di ruangan sunyi ini, dengan Mika di sisiku, aku mulai mengerti bahwa musik jauh lebih dalam dari sekadar teknik. Aku mencoba melepaskan tekanan itu dan membiarkan diriku merasakan melodi yang ingin Mika sampaikan. Perlahan, jari-jariku bergerak lebih lembut, lebih bebas, dan aku mulai memahami apa artinya memainkan musik dengan hati. “Lihat?” kata Mika sambil tersenyum. “Kamu mulai menemukan alurnya. Rasanya seperti berbicara, kan?”. Aku tersenyum kecil, mengangguk. “Aku rasa aku mulai mengerti.”

Lagu yang Mika ciptakan memiliki emosi yang mendalam—rindu, harapan, dan cinta yang tulus untuk adiknya. “Apa adikmu menyukai musik sepertimu?” tanyaku suatu sore. Mika tersenyum tipis. “Dia tidak memainkan alat musik, tapi dia suka mendengarkan. Dia bilang, setiap kali aku bermain piano, dia merasa lebih kuat, seolah rasa sakitnya hilang untuk sementara.” Aku terdiam, membayangkan seorang gadis kecil yang berjuang melawan penyakit sambil mendengarkan suara kakaknya bermain piano. Semakin aku memikirkan itu, semakin aku ingin lagu ini selesai, bukan hanya untuk Mika, tapi juga untuk adiknya.

Akhirnya, setelah berminggu-minggu, lagu itu selesai. Melodinya begitu indah, lembut dan menyentuh hati. Aku memainkan keseluruhan lagu itu untuk pertama kalinya, dan saat nada terakhir menghilang di udara, Mika tersenyum lebar.“Itu sempurna kamu tahu lir? Kamu itu jenius dalam musik, kamu harus menjadi lebih percaya diri dengan permainanmu ” katanya dengan nada penuh kepuasan. Seketika pipiku memerah mendengar pujian yang keluar darinya. Sedari kecil boro-boro dipuji jenius, sehari tanpa makian saja aku sudah bersyukur. “B-benarkah? Aku jenius? kamu hanya ingin membuatku senang kan? walaupun begitu aku tetap senang mendengarnya, terimakasih banyak, " ujarku sambil tersenyum hangat padanya. "Itu benar Lir, kamu berhasil memainkan lagu ini hanya dalam beberapa minggu. Itu sangat hebat untuk seseorang yang sudah berhenti bermain piano untuk waktu yang lama. " Aku menatap Mika, dan senyumnya yang tulus membuat hatiku terasa hangat. Rasanya hampir tidak nyata mendengar seseorang memujiku, terlebih untuk sesuatu yang selama ini justru membuatku merasa gagal. “Aku tidak pernah berpikir bisa mendengar kata-kata seperti itu,” gumamku, masih dengan senyum kecil di wajahku. “Dulu, aku hanya dianggap beban. Tidak pernah cukup baik, tidak pernah cukup berbakat...” “Lir,” potong Mika lembut, “kamu tidak perlu menjadi sempurna untuk menjadi luar biasa. Musik itu tentang hati, dan kamu sudah membuktikannya. Lihatlah sekarang—kamu berhasil menyelesaikan sesuatu yang bahkan aku tidak bisa.”Aku terdiam, mencerna kata-katanya. Perlahan, aku menyadari bahwa beban yang selama ini selalu aku bawa mulai terasa sedikit lebih ringan. “Terima kasih, Mika,” kataku, mencoba menahan air mata yang tiba-tiba menggenang. “Terima kasih sudah percaya padaku.”Mika tertawa kecil. “Aku hanya membuka jalan. Kamu yang membuat semuanya terjadi.”Dia mengulurkan tangannya, seolah ingin menjabat tanganku, tapi tentu saja aku tidak bisa menyentuhnya. Meski begitu, aku merasa kehangatan dari kehadirannya.

“Lir,” katanya pelan, nadanya berubah serius. “Ini adalah saat terakhirku di sini. Aku tahu sekarang adikku akan mengerti betapa aku mencintainya, dan aku sudah bisa melepaskan semua penyesalan.” Mataku membelalak. “Apa maksudmu? Kamu akan pergi?” Dia mengangguk, tersenyum lembut. “Waktuku sudah selesai di dunia ini. Aku tidak memiliki penyesalan apapun lagi didunia ini.” nadanya terdengar sangat lembut dan tulus, ia tersenyum manis menatapku. "T-tunggu! kamu tidak ingin bertemu dengan adikmu untuk terakhir kalinya? kamu tidak ingin melihat wajah bahagianya mendengar lagumu?". Mika terdiam sejenak, matanya memandang jauh ke luar jendela, seolah mencoba mencari kata-kata yang tepat.

Setelah beberapa saat, Mika kembali berkata dengan lembut. “Ya, ini yang kuinginkan. Lagu ini adalah satu-satunya hal yang mengikatku di sini. Sekarang, aku bisa pergi dengan tenang.” Kata-katanya menghantamku seperti ombak yang datang tiba-tiba. Mika tersenyum, tapi senyumnya terasa seperti ucapan perpisahan. “Aku sudah terlalu lama tinggal di sini, Lira. Kehadiranku hanyalah bayangan dari masa lalu yang tidak selesai. Tapi sekarang, karena kamu, semuanya sudah lengkap. Lagu ini adalah caraku untuk melepaskan diri dan menemukan kedamaian.” suara yang sangat lembut, dia berkata, “Aku sudah memberikan segalanya, Lir. Aku sudah memberikan lagu ini untuk adikku, dan itu sudah cukup. Aku tak perlu lagi bertemu dengannya. Aku ingin dia merasakan cintaku, meski aku tidak bisa ada di sana.” Aku terpaku, hatiku terasa terjepit. Mika tersenyum lemah, senyuman yang lembut terlukis di wajahnya, dan untuk sesaat, seakan ada cahaya yang mengelilinginya, memberikan kesan bahwa ia benar-benar telah siap untuk melangkah pergi dengan damai.”Lir, terima kasih telah berjuang untuk laguku, untuk aku, dan untuk adikku. Aku sangat bersyukur kamu memutuskan untuk membuka pintu itu pada hari itu. Setelah bertahun-tahun terjebak di sini, akhirnya aku bisa merasakan kedamaian. Aku akan pergi, dan aku tahu adikku akan mendengar lagu ini.” Dia terdiam sejenak, matanya memandangku dengan penuh kebijaksanaan. "Lir," lanjutnya, "Jangan berhenti bermain musik. Musik bukan hanya untuk orang lain, tapi untuk dirimu sendiri. Kamu memiliki sesuatu yang luar biasa dalam dirimu—sesuatu yang tidak bisa dilihat orang lain, tetapi bisa dirasakan. Mainkanlah musikmu dengan hati, karena itu adalah cara terbaik untuk menemukan kedamaian dalam diri."

Aku tak mampu menahan air mata yang mengalir. Mika sudah memberikan segalanya, bahkan tanpa aku mengerti sepenuhnya. Selama ini aku merasa tertekan oleh harapan orang lain, terjebak dalam ekspektasi yang tidak pernah bisa kupenuhi. Namun kata-kata Mika mengingatkanku bahwa musik itu milikku. Tidak untuk memuaskan orang lain, tetapi untuk mengekspresikan diriku sendiri. Aku mengangguk perlahan, meskipun aku tahu dia tidak bisa melihatnya lagi. "Terima kasih, Mika... aku akan mengingat itu. Aku akan bermain musik untuk diriku sendiri." Senyum Mika semakin melebar, dan tubuhnya mulai memudar perlahan, cahaya yang mengelilinginya semakin terang hingga akhirnya dia menghilang sama sekali, meninggalkan secarik kertas, berisi alamat rumahnya berserta sebuah tulisan 'jika adikku masih hidup, sampaikan kepadanya maaf karena sudah meninggalkanmu sendiri disaat masa-masa tersulitmu. terimakasih karena sudah berjuang untuk melawan penyakit itu dan tetap hidup. Lagu ini aku persembahkan untukmu, adikku.'

Hari berikutnya, aku berdiri di depan rumah kecil sesuai dengan kertas yang ditinggalkan Mika. Rasanya seperti ada ribuan kupu-kupu di perutku saat mengetuk pintu. Seorang wanita muda berumur 20an membuka pintu, dan aku langsung tahu bahwa dia adalah Laras, adiknya Mika. Matanya yang lelah langsung menunjukkan ekspresi terkejut saat aku menyebut nama Mika. “Kakakku?” tanyanya dengan suara gemetar. “Bagaimana kamu tahu tentang dia?” Aku menjelaskan semuanya dengan perlahan, tentang Mika, tentang lagunya, dan kertas yang ia tinggalkan sebelum menghilang. Tangis Laras pecah setelah ia membaca catatan kecil yang ditinggalkan oleh Mika. Setelah memenangkannya, Laras mengundangku masuk menuju ruang tengah. Terdapat sebuah piano berwarna coklat tua di pojok ruangan. Aku duduk di depannya, menenangkan diriku sendiri sebelum mulai menekan tuts piano. Melodi itu mengalun lembut, penuh dengan kehangatan dan cinta yang tulus. Setiap nada bercerita tentang kasih seorang kakak yang tak pernah pudar, meski waktu telah memisahkan mereka.

Setelah menekan tuts terakhir, lagu ciptaan Mika selesai dengan sempurna. Di udara, masih tergema nada terakhir yang melayang lembut, mengisi ruangan dengan kedamaian yang tak terucapkan. Aku menoleh ke arah Laras, yang duduk terdiam di sampingku. Matanya merah, sepertinya dia sudah menangis lama tanpa suara. Di samping piano, aku melihat sosok Mika, berdiri dengan senyum yang sangat hangat, matanya penuh rasa syukur.“Terimakasih...” kata Mika dengan lembut, suaranya hampir tak terdengar, namun cukup untuk menembus kedalaman hatiku. Dengan perlahan, sosok Mika mulai memudar, perlahan menghilang tanpa penyesalan.

Cerpen "Melodi yang Tidak Selesai" ini ditulis oleh Ufairah Zalfa

 

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Insan Purnama

Sumber: opini

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

Mirwa dan Lautan

Jumat, 11 April 2025 | 08:17 WIB

Nala, si Pemalas

Rabu, 27 November 2024 | 13:54 WIB

Si Kacamata Hitam dan Pengamen Jalanan

Rabu, 27 November 2024 | 06:49 WIB

Peristiwa Aneh di Rumah Nenek

Minggu, 24 November 2024 | 17:06 WIB

Elena Valleta: Si Putri Hutan

Minggu, 24 November 2024 | 09:01 WIB

Melodi yang Tidak Selesai

Jumat, 22 November 2024 | 07:04 WIB

Horor Malam Jumat Kliwon: Mempelai Dua Dunia

Kamis, 24 Oktober 2024 | 22:52 WIB

Horor Malam Jumat Kliwon: Rumi di Bukit Terlarang

Kamis, 24 Oktober 2024 | 18:11 WIB
X