Setelah meletakkan sepasang sepatunya, Raja berdiri lesu di ketinggian. Tak ingin didengarnya lagi monolog sepatu bekas miliknya. Tubuh ringkihnya bersandar lunglai pada dinding balkon. Terdengar angin sepoi mencoba menghiburnya. Raja perlahan meletakkan kepalanya di telapak tangan, sementara sikunya bertumpu pada dinding balkon.
Raja, pemuda yang tak menyadari bahwa dirinya tangguh itu, tinggal di sebuah flat, tepatnya rumah susun. Kumuh tidak, mewah pun tidak. Raja menamakannya rumah meskipun tiap saat dia harus menahan detak khawatir di dadanya. Detak takut diusir sang pemilik kamar flat karena ibunya yang lagi-lagi terlambat membayar sewa, yang sebenarnya, untuk ukuran kehidupan Jakarta yang mewah, harga sewanya sudah sangat murah. Hari-hari senggang dihabiskannya untuk mendengarkan monolog sepatu bekas miliknya.
Dengan tatapan kosong mata Raja menatap lalu lalang kendaraan di jalanan di bawahnya. Sesekali melirik sepatu di samping kakinya, tergoda untuk mendengarkan lagi betapa ngilu monolog sepatu bekas miliknya. Tiba-tiba dilihatnya seseorang di bawah sana melempar sepatu ke tengah jalan raya sambil mengumpat entah apa bunyinya, entah apa sebabnya. Suara orang itu ditelan angin dan deru kendaraan, maka Raja tak dapat mendengarnya. Raja dongkol melihat adegan itu.
Baca Juga: Tips Sukses Melewati Hari di Tengah Pandemi
“Hei, bodoh! Sepatumu itu masih bagus! Kenapa kamu lempar ke tengah jalan? Apa kau tak berpikir para mobil akan melindasnya? Bodoh! Tak tahu diri! Sepatu itu masih baguuus, bodoh!” dengusnya dengan suara yang segera hilang di telan angin.
Raja menegakkan kaki dengan geram, matanya melotot ke arah sepatu yang terkulai di tengah jalan. Tak lama kepalanya berpaling ke lantai balkon. Di sana sepasang sepatunya menganga hampir terbelah dua tergolek di lantai balkon dekat kakinya.
“Bodoh banget, sih. Orang itu nggak tahu betapa sulit beli sepatu baru. Liat, tuh! Liat bodoh, sepatuku yang renta. Sepatu bekas anak tetangga yang sombong itu. Sepatuku yang sobek hampir terbelah. Aku masih merawatnya, karena tiap hari kakiku harus bersahabat dengannya supaya aku bisa ke sekolah dengan kaki terbungkus sepatu.”
Baca Juga: Bisik-Bisik di Bawah Selimut
“Ya Allah, bodoh banget orang itu, melempar sepatu masih bagus seenaknya ke tengah jalan. Apa sih, isi kepalanya? Nggak bersyukur banget! Bodoh!”
Artikel Terkait
Puisi Basi untuk Sang Maha
Buah dari Puisi Sukmawati, Jakarta Memanas
Analisis Psikologi Terhadap Puisi Sukmawati
Bukan Puisi, Hanya Opini