Tanah Tabu: Perempuan dan Nasib Ibu Bumi

photo author
- Senin, 18 Oktober 2021 | 10:02 WIB
Ilustrasi (@sekar_mayang)
Ilustrasi (@sekar_mayang)

Anindita membungkus satir dengan humor yang memancing tawa miris pembaca. Seperti saat membicarakan tingkah lelaki yang hanya tahu seks, minum, dan leha-leha.

Baca Juga: Indonesia Juara Piala Thomas, Menpora Puji Pelatih Ganda Putra, Herry IP

Lewat tokoh anak kecil bernama Yosi, teman bermain Leksi, Anindita bertutur soal beban anak tertua dalam sebuah keluarga miskin. Ditambah lagi ayahnya yang gemar mabuk, main tangan, dan nyaris tidak menyisakan sedikit pun uang untuk dana pendidikan anak-anaknya. Plus, tidak ada kesadaran bahwa seks tidak perlu berakhir menghasilkan bayi.

Leksi sendiri hidup agak beruntung. Setidaknya, tidak ada laki-laki yang mengganggu hari-harinya dengan siksa fisik. Yang ada hanya Karel, yang biasanya pamer mainan baru tiap bertandang ke rumah Leksi. Dunia Leksi hanyalah sekolah, bermain dengan Pum dan Kwee, serta riuh rendah pasar ketika membantu ibunya atau Mabel berjualan.

Leksi adalah penghibur Yosi, meskipun Yosi sendiri rupanya sudah memiliki sifat riang, apa pun kondisi di rumahnya, seberapa lelahnya ia mengurus adik-adiknya. Dan, Leksi amat terpukul ketika tahu Yosi pergi tanpa berucap satu patah kata pun kepadanya.

Baca Juga: Duh, Ada 50 Paket Pekerjaan di Dinas PUPR Muba Berindikasi Bermasalah, Berikut Potensi Kebocorannya

Getir yang diderita Yosi seharusnya tidak perlu terjadi. Egoistis, konsep patriarki, serta kurangnya pendidikan menjadikan segalanya tak ubah lingkaran setan. Yosi terlalu banyak menyaksikan dan merasakan kepahitan dan kekerasan hidup. Sampai pada suatu saat, ia merasa bebas karena sang ibu mengajak ia dan adik-adiknya keluar dari rumah.

“… Sementara di kepala sang ibu yang ditumbuhi rambut keriting pendek-pendek, setia menggantung noken lusuh yang menunggu diisi. Entah hasil kebun, babi piaraan yang masih bayi, sagu, atau benda apa saja yang tidak ingin dibawa para laki-laki, karena memang begitulah tugas perempuan sejak zaman nenek moyang. Mereka, para laki-laki, hanya boleh membawa senjata sebab tugas mereka berburu dan melindungi. Sedangkan perempuan dianggap sebagai makhluk lemah sehingga patut dilindungi dari serangan musuh, tetapi tidak dari penindasan keluarga sendiri.” (halaman 99-100)

Tidak akan ada habisnya jika menyangkut konsep patriarki. Di belahan bumi mana pun, pemahaman ini masih tumbuh subur dan mengakar kuat. Ditambah kurangnya pengetahuan tentang leluhur, jadilah superioritas laki-laki tetap langgeng.

Emas dan Harga Diri

Mengenal Papua berarti mengenal ladang emas terbesar se-Asia Tenggara. Bahkan, dari data yang dirilis British Geologocal Survey (BGS) tahun 2019 menyebutkan Indonesia berada di peringkat enam negara penghasil emas terbesar dunia. Suplai terbanyak didapat dari tambang Grasberg Freeport-McMoRan.

Akan tetapi, kilau emas tidak sebanding dengan kilau nasib penduduk asli Papua. Pada awalnya mereka memang menerima pendatang dengan tangan terbuka. Kemajuan yang digembar-gemborkan para kulit putih sungguh membuat mereka memikat hati. Mabel adalah salah satu yang mendapat keistimewaan tersebut. Oleh keluarga Tuan Piet van de Wissel dan Nyonya Hermine Stappen, Mabel diberi akses ke ilmu pengetahuan dan berbagai keterampilan bertahan hidup.

Mabel begitu menyayangi keluarga itu. Ia merasa sedih ketika mereka terpaksa pulang ke negara asalnya. Dari sinilah awal mula penderitaan Mabel.

Baca Juga: Mengungkap Potensi Mengerikan di Balik Keindahan Gunung Agung

Tak ubahnya Mabel, Lisbeth (ibu Leksi, menantu Mabel) juga mengalami hal yang nyaris sama. Pernah dicampakkan laki-laki yang seharusnya melindungi, membuat mereka saling menguatkan. Meskipun tidak terikat kekentalan darah yang sama, mereka diikat oleh nasib dan harga diri yang pernah terluka.

Halaman:

Artikel Selanjutnya

PUISI: Rembulan Menangis

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizinĀ redaksi.

Editor: Insan Purnama

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

Nilai-Nilai HAM: Antara Janji Moral dan Kenyataan Sosial

Selasa, 16 Desember 2025 | 09:38 WIB

Dugaan Perjudian di Gacha Game dan Loot Box di Indonesia

Minggu, 14 Desember 2025 | 14:51 WIB

PKB Blunder, M Nuh dan Nusron Berkibar

Jumat, 12 Desember 2025 | 19:39 WIB

Konflik di PBNU dan Hilangnya Ruh Khittah Ulama

Senin, 8 Desember 2025 | 16:19 WIB

OPINI: Ketika Rehabilitasi Menyalip Pengadilan

Kamis, 4 Desember 2025 | 12:25 WIB
X