(KLIKANGGARAN)--Konflik yang belakangan muncul di tubuh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) memperlihatkan sesuatu yang lebih dari sekadar dinamika organisasi.
Ia menunjukkan adanya penyimpangan mendasar dari khittah perjuangan NU dan tradisi moral spiritual para kiai.
Apa yang seharusnya menjadi jam’iyyah diniyyah organisasi yang dibangun atas dasar pengabdian, adab, dan kepemimpinan ruhani justru tampak terjebak dalam pusaran perebutan kewenangan dan urusan dunia yang sifatnya sementara, rapuh, dan tidak selaras dengan nilai luhur para pendahulu. Oleh karena itu terdapat 5 poin yang menjadi sorotan penulis tentang konflik di tubuh Ormas terbesar di Indonesia ini.
1. Konflik Kekuasaan dan Tergerusnya Keteladanan
NU berdiri bukan sebagai organisasi politik kekuasaan, tapi sebagai payung besar umat yang menjaga ilmu, adab, dan tradisi keislaman ala Ahlussunnah wal Jamaah.
Namun, konflik internal yang beraroma politik dan kekuasaan membuat publik melihat bahwa sebagian elite NU telah menjadikan jabatan sebagai medan kompetisi, bukan amanah.
Baca Juga: Innalillahi, Kabar Duka, Ulama Karismatik K.H Muhammad Syukri Unus Meninggal Dunia, Ini Sosoknya
Perseteruan yang dipertontonkan secara terbuka, saling serang melalui media, hingga perebutan legitimasi, merupakan tanda hilangnya wibawa moral yang dulu menjadi ciri utama para kiai. Kian tebal kesan bahwa perebutan jabatan lebih dominan daripada semangat khidmah.
Padahal para masyayikh NU di masa lalu secara tegas menghindari perebutan kekuasaan. Mereka berlomba mendorong orang lain untuk memimpin, bukan memperebutkan kursi. Bagi mereka, jabatan itu beban, bukan hadiah.
Namun kini, sebagian aktor dalam konflik PBNU justru memposisikan jabatan sebagai simbol gengsi, alat tawar politik, dan jalan menuju kekuasaan yang lebih luas.
2. Menjauh dari Khittah 1926 dan Independensi Ulama
Khittah 1926 secara terang menegaskan bahwa NU adalah organisasi keagamaan yang tidak terjebak dalam kepentingan politik praktis.
Baca Juga: Pengabdian Guru TPA di Seko, Menembus Batas Geografis Berbuah Apresiasi dan Penghargaan Nasional
Tujuan utamanya adalah menjaga tradisi keilmuan Ahlussunnah wal Jamaah, membimbing umat dengan akhlak sosial, dan menjadi penyejuk dalam silang sengketa bangsa.
Namun apa yang terjadi hari ini sering menunjukkan kebalikannya. Konflik yang menyeret nama-nama besar NU justru memunculkan aroma politik dan kepentingan yang jauh dari spirit khittah.
Ketika ulama dan pucuk pimpinan NU terlibat dalam kontestasi kepentingan, masyarakat kecil yang semestinya dibimbing justru menjadi penonton yang kebingungan. Mereka bertanya-tanya: apakah benar ini warisan para kiai?
Artikel Terkait
Syuriyah PBNU Akui Temuan Audit 2022 Soal Dugaan TPPU Rp100 M, Ungkap Dokumen Internal Itu Ternyata Bocor hingga Viral
Gejolak Baru di PBNU: Setelah Gus Yahya Digoyang, Kini Gus Ipul Dicopot Tanfidziyah dari Kursi Sekjen
Konflik di PBNU Memanas: Rais Aam Tegaskan Gus Yahya Tak Lagi Ketum dan Umumkan Pembentukan TPF
Konflik NU Kian Panas, Mahfud MD Singgung Proyek Tambang hingga Sindir PBNU Berubah Layaknya ‘PTNU’
KPK Selidiki Dugaan Aliran Dana Rp100 Miliar ke PBNU, Audit 2022 Ikut Disorot usai Maming Dijerat Kasus Tambang