KLIKANGGARAN --Hak Asasi Manusia (HAM) kerap diposisikan sebagai pilar utama peradaban modern. Ia digambarkan sebagai hak dasar yang melekat pada setiap manusia sejak lahir—tak peduli apa pun latar belakang ras, agama, jenis kelamin, atau status sosialnya. Dalam wacana ideal, HAM menjanjikan dunia yang setara, bebas, dan adil. Namun pertanyaannya, sejauh mana janji itu benar-benar terwujud dalam kehidupan nyata?
Di tengah dunia kontemporer yang serba terbuka dan terhubung, ironi justru tampak jelas. Nilai-nilai HAM seperti kesetaraan, kebebasan, dan keadilan sering dielu-elukan dalam pidato resmi, konstitusi, hingga dokumen internasional. Kesetaraan seharusnya meniadakan segala bentuk diskriminasi, kebebasan menjamin hak setiap orang untuk bersuara, dan keadilan memastikan hukum berdiri sama tinggi bagi siapa pun. Sayangnya, nilai-nilai luhur ini kerap berhenti sebagai jargon normatif, tanpa keberanian untuk diwujudkan secara konsisten.
Realitas menunjukkan bahwa pelanggaran HAM masih menjadi bagian dari keseharian global. Diskriminasi terhadap kelompok minoritas terus berlangsung dalam berbagai bentuk, konflik bersenjata merampas hak hidup dan rasa aman jutaan manusia, sementara kebebasan berpendapat sering kali dibungkam atas nama stabilitas dan ketertiban. Bahkan di era digital, kemajuan teknologi yang seharusnya memperluas ruang kebebasan justru melahirkan ancaman baru: pengawasan berlebihan, kebocoran data pribadi, dan pelanggaran privasi yang semakin sulit dikendalikan.
Situasi ini menegaskan satu hal penting: komitmen terhadap HAM tidak cukup diwujudkan melalui aturan tertulis atau pernyataan politik semata. HAM membutuhkan keberpihakan nyata dan kesadaran kolektif. Negara memiliki kewajiban utama untuk melindungi dan menegakkannya, namun masyarakat juga memegang peran strategis sebagai pengawas, pengingat, sekaligus pelaku nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri. Tanpa keterlibatan aktif semua pihak, HAM akan tetap menjadi konsep indah yang rapuh ketika berhadapan dengan kepentingan kekuasaan dan pragmatisme politik.
Pada akhirnya, perjuangan menegakkan nilai-nilai HAM di dunia kontemporer adalah perjuangan moral yang tidak pernah selesai. Ia menuntut keberanian untuk bersikap adil, konsistensi dalam menghormati perbedaan, dan empati terhadap sesama manusia. HAM bukan semata urusan pemerintah atau lembaga internasional, melainkan tanggung jawab setiap individu sebagai bagian dari masyarakat global yang mendambakan kehidupan yang lebih manusiawi.
Artikel opini ini ditulis oleh Refina Nurohman, mahasiswa Jurusan PPKn, Universitas Pamulang.
Artikel Terkait
PKB Blunder, M Nuh dan Nusron Berkibar
Hukum di Bawah Sorotan Publik: Membaca Putusan Mahkamah Agung dalam Kasus Mario Dandy
Dugaan Perjudian di Gacha Game dan Loot Box di Indonesia
Nikah Siri vs Delik Pidana: Jerat Hukum di Balik Skandal Perselingkuhan Inara Rusli dan Insanul Fahmi
Manfaat dan Tantangan Teknologi Digital dalam Pembelajaran Matematika di Era Digital