KLIKANGGARAN-- Kekerasan terhadap perempuan—sebuah noda sosial yang melampaui batas geografis, kelas, dan usia—telah lama menjadi bisul akut dalam tatanan masyarakat.
Narasi yang sering terdengar adalah jeritan dalam keheningan; luka yang tersembunyi di balik senyum profesional, dinding domestik, bahkan di ruang-ruang publik yang seharusnya aman.
Frasa "Suara perempuan merdeka dari kekerasan" bukan hanya sekadar aspirasi moral, melainkan sebuah desakan politik dan sosial yang menuntut perubahan struktural dan penegakan hukum yang revolusioner.
Kekerasan adalah Epidemik Struktural, Bukan Sekadar Kasus Individual
Perempuan modern menghadapi spektrum kekerasan yang kompleks dan berlapis. Bentuknya meluas dari kekerasan fisik dan seksual hingga kekerasan verbal, psikis, dan eksploitasi ekonomi.
Di Indonesia, data tahunan yang dirilis oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) melalui Catatan Tahunan (CATAHU) secara konsisten menunjukkan tingginya angka kasus, terutama di ranah privat (Kekerasan Dalam Rumah Tangga/KDRT) dan ranah siber.
Angka ini, yang mencakup ribuan laporan resmi setiap tahun, hanyalah puncak gunung es. Mayoritas korban memilih bungkam karena stigma sosial, victim blaming (penyalahan korban), dan ketidakpercayaan terhadap sistem hukum.
Inti dari permasalahan ini adalah budaya patriarki yang menormalisasi dominasi laki-laki dan merendahkan nilai perempuan. Pola pikir inilah yang menyebabkan:
Imunitas Pelaku: Pelaku seringkali lolos dari jerat hukum karena konstruksi sosial yang melihat kekerasan terhadap perempuan sebagai "masalah domestik" atau "konsekuensi" dari perilaku korban.
Kriminalisasi Korban: Kasus-kasus sering terdistorsi, di mana korban, alih-alih dilindungi, justru diintimidasi, diancam balik, atau bahkan dituntut atas dasar pencemaran nama baik, sebuah ironi hukum yang menyakitkan.
Sumber Referensi dan Contoh Kasus untuk Desakan Reformasi
Untuk mewujudkan kemerdekaan perempuan dari kekerasan, dibutuhkan intervensi yang kuat dari negara dan masyarakat sipil.
1. Penegakan Hukum yang Berpihak pada Korban
Landasan hukum telah diperkuat dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Kehadiran UU ini adalah momentum krusial yang harus diiringi dengan implementasi yang tegas.
Artikel Terkait
Inilah Alasan Sebenarnya Presiden Prabowo Copot Arief Prasetyo dari Kepala Bapanas dan Serahkan ke Menteri Pertanian
Memahami Lebih Jauh Majas Personifikasi
Mengenang Petaka Kereta Cepat
Komitmen Guru SMK: Kunci Mutu Pendidikan Vokasi di Era Industri
Manusia di Era Kecerdasan Buatan: Menyambut Masa Depan, Bukan Takut Padanya
Ketika Akreditasi Jadi Ritual: Saatnya Kembali ke Substansi Mutu