Nikah Siri vs Delik Pidana: Jerat Hukum di Balik Skandal Perselingkuhan Inara Rusli dan Insanul Fahmi

photo author
- Senin, 15 Desember 2025 | 10:41 WIB
Inara Rusli (Instagram @mommy_starla)
Inara Rusli (Instagram @mommy_starla)

KLIKANGGARAN -- Isu dugaan perzinahan yang melibatkan selebgram ternama, Inara Rusli, dan pengusaha Insanul Fahmi, yang dilaporkan oleh istri sah Insanul, Wardatina Mawa, telah mencuatkan kembali perdebatan sengit mengenai dualitas hukum perkawinan di Indonesia.

Kasus ini berawal dari dugaan perselingkuhan yang kemudian diperumit oleh pengakuan Insanul Fahmi tentang adanya nikah siri dengan Inara Rusli, yang kemudian dibalas Inara dengan laporan dugaan penipuan status. Pihak pelapor menggunakan Pasal 284 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang masih berlaku saat ini, yang menetapkan perzinahan sebagai delik aduan absolut, artinya hanya bisa diproses jika diadu oleh suami atau istri yang tercemar.

Dalam konteks hukum, meskipun Insanul Fahmi mengklaim telah menikah siri, status perkawinan yang diakui secara sah di mata hukum negara adalah yang tercatat di Kantor Urusan Agama (KUA) atau Catatan Sipil. Oleh karena itu, bagi Wardatina Mawa, istri sah yang pernikahannya tercatat, tindakan suaminya yang menikah lagi tanpa izin (bahkan secara siri) dan dugaan perzinahan sebelum/sesudah pernikahan siri tersebut tetap memiliki implikasi pidana.

Baca Juga: Dunia Balap Berduka, Ahwin Sanjaya Meninggal Kecelakaan saat Balapan di Sumatera Cup Prix 2025, Ini Sosoknya

Di sinilah Pasal 411 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP baru hadir sebagai payung hukum yang lebih tegas, yang mulai berlaku efektif tahun 2026. Pasal baru ini, yang merupakan salah satu kebijakan Presiden dalam reformasi hukum pidana, mempertahankan konsep delik aduan, namun dengan ancaman pidana yang lebih berat hingga satu tahun penjara.

Adanya Pasal 411 KUHP baru mengindikasikan bahwa negara, melalui kebijakan yang disahkan Presiden, memandang serius perlindungan terhadap institusi perkawinan dan martabat keluarga, dan ini merupakan langkah maju yang benar dan baik. Namun, pertanyaan besarnya adalah: apakah kebijakan Presiden ini sudah cukup, atau masih kurang, mengingat Pasal 411 tetap mensyaratkan aduan dari pihak yang sah secara hukum, yang bisa saja menimbulkan dilema bagi korban yang memilih untuk tidak melapor demi anak atau alasan lain?

Kesimpulannya, dalam kasus yang kompleks seperti ini, di mana terdapat dugaan perzinahan, pernikahan siri, dan penipuan, penegak hukum harus mengedepankan asas keadilan restoratif sambil tetap memproses laporan pidana secara transparan.

Baca Juga: Dugaan Perjudian di Gacha Game dan Loot Box di Indonesia

Saya menghimbau masyarakat luas untuk tidak hanya berfokus pada sisi sensasionalitas figur publik, tetapi juga memahami bahwa di balik skandal tersebut, terdapat perlindungan hukum bagi istri sah yang harus dihormati.

Mari kita dukung penegakan hukum yang adil dan transparan agar kasus serupa tidak terulang, serta memastikan bahwa setiap tindakan pidana, termasuk perzinahan dan penipuan, diproses sesuai dengan undang-undang yang berlaku, demi mewujudkan keluarga yang harmonis dan terlindungi secara hukum.

Penulis: Mulyani (Mahasiswa Ilmu Hukum Universitas Pamulang)

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizinĀ redaksi.

Editor: Insan Purnama

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

Nilai-Nilai HAM: Antara Janji Moral dan Kenyataan Sosial

Selasa, 16 Desember 2025 | 09:38 WIB

Dugaan Perjudian di Gacha Game dan Loot Box di Indonesia

Minggu, 14 Desember 2025 | 14:51 WIB

PKB Blunder, M Nuh dan Nusron Berkibar

Jumat, 12 Desember 2025 | 19:39 WIB

Konflik di PBNU dan Hilangnya Ruh Khittah Ulama

Senin, 8 Desember 2025 | 16:19 WIB

OPINI: Ketika Rehabilitasi Menyalip Pengadilan

Kamis, 4 Desember 2025 | 12:25 WIB
X