KLIKANGGARAN -- Gacha game dan loot box semakin sering dianggap memiliki kemiripan dengan praktik perjudian karena pemain harus mengeluarkan uang tetapi hasil sepenuhnya bergantung pada keberuntungan. Peluang mendapatkan item langka sangat kecil, namun sensasi “mau dapat, tapi belum dapat” membuat banyak pemain terus mencoba lagi dan lagi. Mekanisme inilah yang akhirnya menimbulkan kekhawatiran: apakah gacha dan loot box masih sekadar fitur hiburan, atau justru sudah menyerupai bentuk perjudian digital?
Presiden telah menekankan pentingnya pemberantasan judi online, dan isu tersebut secara tidak langsung bersinggungan dengan mekanisme gacha serta loot box yang berpotensi merugikan pemain. Arah kebijakan ini sejalan dengan UUD 1945 Pasal 28D ayat (1) mengenai hak atas perlindungan hukum, serta Pasal 28H ayat (1) yang menjamin setiap warga negara berhak memperoleh rasa aman.
Banyak pemain mengaku mengalami kerugian karena peluang drop yang tidak transparan dan sistem yang membuat mereka terus membeli. Sayangnya, pengawasan terhadap industri game masih longgar dan belum memiliki aturan teknis yang benar-benar melindungi konsumen, terutama pemain muda.
Fenomena ini diperparah oleh minimnya pemahaman pemain mengenai cara kerja peluang drop. Efek visual yang memukau, suara yang memancing adrenalin, serta animasi yang dibuat seolah memberi “tanda-tanda keberuntungan” membuat pemain semakin yakin bahwa percobaan berikutnya akan lebih baik.
Tanpa sadar, uang yang dikeluarkan bisa jauh melampaui batas wajar. Dari perilaku inilah muncul kesimpulan bahwa gacha dan loot box memang memiliki pola yang mirip dengan perilaku berjudi, meski dikemas dalam bentuk hiburan digital yang terlihat aman.
Apakah kebijakan presiden dan aturan hukum yang berlaku saat ini sudah cukup untuk mengatasi dugaan unsur perjudian dalam gacha dan loot box? Walaupun UU ITE Pasal 27 ayat (2) jelas melarang penyebaran konten perjudian, regulasi tersebut belum menyentuh secara khusus mekanisme gacha dan loot box.
Tidak ada aturan wajib terkait transparansi peluang drop, tidak ada batasan transaksi untuk pemain di bawah umur, dan sistem verifikasi umur pun mudah dilewati. Kondisi ini menunjukkan perlunya peraturan tambahan yang lebih rinci agar perlindungan konsumen tidak hanya sebatas wacana.
Melihat beberapa negara yang telah lebih dulu mengambil tindakan mulai dari membatasi hingga melarangnya, Indonesia sebenarnya menghadapi situasi yang sama. Jika tidak segera diatur, kerugian yang dialami pemain bisa semakin besar dan berulang.
Oleh karena itu, pemain perlu lebih bijak dalam mengatur pengeluaran, pemerintah perlu menyusun aturan khusus yang tegas dan terukur, dan masyarakat perlu memahami bahwa tidak semua mekanisme dalam game bersifat aman. Dengan langkah yang tepat, gacha dan loot box bisa tetap dinikmati tanpa menjadi jebakan yang merugikan.
Penulis : Chairunnisa Ashilah Ghazali (Mahasiswa Ilmu Hukum Universitas Pamulang)
Artikel Terkait
Perhiptani Luwu Utara Gelar Rakor di Pengujung Tahun, Tuntaskan Program Kerja Sampai 2026
Hasil Odisha Masters 2025: Indonesia Pastikan Satu Gelar, Berpeluang Borong Tiga Trofi di Final
Hasil Bulutangkis SEA Games 2025: Indonesia Kunci Emas Tunggal Putra, Masih Berpeluang Tambah Dua Emas
Indonesia Pastikan Satu Emas di Cabang Olahraga Bulutangkis Perseorangan SEA Games 2025
UPDATE Pascabanjir Aceh: Menko Zulhas Turun ke Pesisir Aceh Utara Pascabencana, Salurkan Bantuan dan Tegaskan Hutan Lindung Tak Boleh Diapa-apakan
UPDATE Kasus Penipuan WO Ayu Puspita: Promo Murah hingga Honeymoon Jadi Umpan, Dana Catin Dipakai Cicil Rumah dan Liburan
UPDATE Pengungsi Korban Banjir Aceh Tamiang Tolak Uang dan Makanan, Pilih Minta Mukena demi Bisa Salat
Sinyal Masih Lumpuh, Relawan Satelitkan Internet: Ibu di Aceh Tamiang Akhirnya Video Call Anak Kuliah di Yaman
Usai Banjir Surut, Listrik Masih Padam di Tripa Makmur, Mantan Ketua DPRK Nagan Raya Minta PLN Berlaku Adil dalam Pemadaman Bergilir
Hukum di Bawah Sorotan Publik: Membaca Putusan Mahkamah Agung dalam Kasus Mario Dandy