Karena kesungguhan itu, pekerjaan sang guru, yakni mengajar, menjadi lebih optimal. Murid pun sedikit banyak akan bangga, akan senang dengan kemampuan guru tersebut “membantunya” dalam belajar. “Guruku idolaku!”
Apakah karena Sekolahnya?
Sekolah di Indonesia sudah sejak lama “tersetting” ada sekolah favorit dan nonfavorit. Ada sekolah unggulan ada tidak. Ditambah lagi ada sekolah internasional dan lokal. Perbedaan jenis sekolah tersebut sedikit banyak berpengaruh terhadap psikis para “penghuninya”.
Siswa dan orang tua siswa menjadi lebih percaya dan bangga tentunya terhadap sekolah tersebut. Orang tua merasa prestasi anak dijamin bisa dicapai dengan level sekolahnya tersebut.
Baca Juga: Pemerintah Alokasikan Rp510 Miliar Pembangunan Ibu Kota Negara Tahap Satu
Sama halnya dengan siswa dan orang tua, kebanggaan ini terasa juga tentunya oleh guru-gurunya. Honor yang tidak seperti sekolah umumnya dan status sekolah yang keren tidak menutup kemungkinan menjadi prestise sang guru.
Namun, apakah ini prestise atau wibawa yang memang harus ditonjolkan oleh sang guru. Tentu tidak. Menjadi pengajar level atas di sekolah yang elite adalah justru tantangan seorang guru. Bukan prestise yang kemudian dijadikan kesimpulan sang guru sudah keren, sang guru sudah jenius.
Kalau memang sekolah dijadikan prestise, bagaimana dengan guru-guru yang mengajar di pedalaman. Guru-guru yang mengajar di hutan. Guru-guru yang mengajar tanpa digaji. Guru-guru yang mengajar di daerah terpencil.
Baca Juga: Penyelesaian Pembangunan Mega Proyek Tahun 2021 di Kabupaten Batang Hari Akan Terlambat, Kenapa?
Apakah mereka justru lebih keren daripada guru yang mengajar di lokasi yang aman nyaman tersebut?
Menjadikan status sekolah sebagai tantangan mengajarlah justru yang merupakan “kebanggaan” seorang guru. Dengan begitu, dia harus belajar dan belajar untuk menghadapi tantangan tersebut.
Apakah karena Bidang Studinya?
Lalu, apakah karena bidang studinya sang guru dianggap keren? Karena beliau mengajar Matematika, sang guru dicap paling pintar. Karena mengajar Sains, sang guru dicap paling jenius. Paling tahu banyak hal. Apakah seperti ini?
Baca Juga: Waduh, Data KTP dan Foto Selfie Nasabah Pinjol Ternyata Dijual Oleh Oknum Lewat Aplikasi Telegram
Tentu tidak. Guru Matematika belum tentu bisa menulis artikel dengan baik dan benar seperti guru Bahasa Indonesia. Guru IPA belum tentu paham biografi pahlawan seperti guru IPS. Juga guru-guru lainnya yang tentunya masing-masing punya “kepintarannya” sendiri-sendiri.
Dengan begitu, bukan prestise ketika guru mengajar bidang tertentu. Yang seharusnya dianggap keren adalah ketika sang guru terus belajar. Sang guru terus meningkatkan kemampuannya dalam bidangnya.
Artikel Terkait
Pakar: Putusan MK Soal Remisi Narapidana Sejalan dengan Nilai HAM
Kebijakan Privatisasi BUMN, Porsi Saham Persero, dan Catatan untuk Para Hakim Konstitusi
Relasi Antara Caper, Baper, dan Laper
Fakta Mengagetkan! Ini Dia Empat Tipe Teman yang Wajib Diketahui
Refleksi Kompleksistas Wanita dalam Cerita Fiksi, Ternyata Ada di Dunia Nyatanya Lho
Menengok Kompleksitas Dunia Wanita pada Masa Lalu
Kata Kuntowijoyo, (Laki-Laki) 'Dilarang Mencintai Bunga-Bunga', ketika Ayah Menjadi Pusat Hidup
Mengapa Artikel Non Fiksi yang Ditulis Para Pegiat Fiksi Cenderung Lebih Enak Dibaca?
SD IT atau SD Negeri? Ketika Orang Tua Harus Memilih Pendidikan Dasar