KLIKANGGARAN--Bukan satu atau dua kali saya mendapati peristiwa yang membuat saya teringat betapa rapuhnya peran editor dalam sebuah terbitan karya. Dalam artian, ternyata banyak yang masih menyepelekan, masih menganggap editor tak ubahnya tukang koreksi kesalahan tik pada naskah. Pedih, Bun.
Ini juga bukan kali pertama saya mengoceh soal peran editor untuk sebuah terbitan karya. Di Facebook, tidak terhitung rasanya saya mengulang narasi yang sama.
Saya bosan, tetapi apa daya, hal ini harus terus-menerus digaungkan agar tidak ada lagi yang menganggap remeh profesi editor. Bagi yang pernah bekerja sama dengan saya, tentu paham, ocehan ini bukan semata-mata curahan hati yang tidak terdengar. Ini demi tujuan lain yang lebih mulia (tsaaah …).
Baca Juga: 1 Maret Akan Dijadikan Hari Besar Nasional, Ada Peristiwa apa pada 1 Maret?
Gara-garanya adalah semalam. Saya mengobrol dengan seorang sahabat. Setelah agak panjang kali lebar kali tinggi, ia menyebutkan soal hasil suntingan suatu naskah yang tidak dianggap oleh penulisnya. Benak saya lalu melanglang buana, tidak mau pulang.
Lebih dari dua puluh buku pernah saya urusi, ada saja penulis yang terkejut bahwa proses penyuntingan naskah ternyata tidak sesederhana yang selama ini mereka bayangkan. Oh, tentu saja, Ferguso.
Itulah sebabnya tarif editor sebenarnya cukup mahal. Sebab, yang mereka kerjakan bukan melulu memeriksa aksara dan memperbaiki kesalahan tik. Saking mahalnya, sampai-sampai hanya segelintir orang yang memaklumi dan tidak protes saat mendengar nominal yang saya sebutkan.
Baca Juga: Menteri Agama Itu Harus Islam, Kata Gus Yaqut!
Lantas, apa saja sebenarnya peran editor dalam sebuah terbitan karya sastra?
Pertama, editor membantu penulis mempercantik naskah. Bagian-bagian yang perlu dipercantik antara lain kalimat-kalimat, momen atau adegan, gap/celah/jarak antaradegan, dan bagian akhir cerita. Lebih lengkapnya, bisa menuju tautan berikut.
Kedua, editor membantu penulis menemukan genre yang sesuai. Kadang, ketika saya sedang menyeleksi naskah yang masuk, saya menemukan penulis yang salah memilih genre tulisan. Misalnya, si penulis mengirim naskah bergenre romance, tetapi setelah saya baca, saya merasa sedang membaca naskah horor. Meskipun plotnya bagus dan minus saltik, biasanya naskah semacam itu tidak saya loloskan.
Gantinya, saya beri si penulis kesempatan untuk mengirim naskah lain dengan genre yang saya sarankan. Tentu naskah terbarunya akan dapat perhatian lebih dari saya ketika proses penyuntingan nanti.
Baca Juga: Perkembangan Kasus Mantan Petinggi FPI, Munarman, Sudah Sejauh Mana ya?
Akan tetapi, bagaimana jika si penulis tidak tertarik menulis dengan genre yang disarankan? Yasutralahyes. Kan, nggak boleh maksa-maksa orang. Takut nanti si penulis malah baper sampai ke tulang dan pilih mengakhiri hidupnya.
Artikel Terkait
Jangan Main-Main dengan Semesta Kecil Djenar yang Mahabasah!
Apa yang Perlu Dilakukan Jika Anak Tantrum di Tempat Umum?
Bicara Drakor, Punya Pasangan Orang Korea Enak ngga, sih?
Makna Sumpah Pemuda buat Milenial Kekinian
Makna Sumpah Pemuda buat Pejabat
Jangan Meletakkan Kebahagiaan di Mulut Orang
Revolusi Bahasa
Keikutsertaan Lendir dalam Sebuah Karya Sastra