KLIKANGGARAN-- Bahasa adalah objek kajian satu disiplin ilmu yang dikenal dengan sebutan linguistik. Menurut KBBI V versi daring, bahasa dapat diartikan sistem lambang bunyi yang arbitrer, yang digunakan oleh anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri. Jika merujuk definisi tersebut, patutlah kita menyepakati bahwa bangsa ini terbentuk karena memiliki bahasa.
Itu pun dipertegas dengan hadirnya sumpah pemuda pada Kongres Pemuda Kedua pada Oktober 1928. Yang kita tahu dalam sumpah tersebut tidak tertulis nama tokoh layaknya teks proklamasi—dalam teks tersebut tertulis “Atas nama bangsa Indonesia, Soekarno/Hatta”—sehingga kita, terutama kalangan pelajar, tidak mengetahui siapa sajakah yang terlibat dalam rumusan tersebut, terutama yang mengangkat bahasa Indonesia menjadi bahasa persatuan.
Lalu, siapakah tokoh yang mencetuskan pentingnya bahasa kebangsaan ini? Menurut Endarmoko (2017:8), Muhammad Yamin adalah tokoh yang pertama kali menggelindingkan pemikiran tentang pentingnya bahasa kebangsaan—pada sebuah acara memperingati lustrum pertama Jong Sumatranen Bond pada 1923. Kemudian, Muhammad Yamin mengutarakan kembali gagasan itu dalam Kongres Pemuda Pertama pada 1926 seraya menawarkan bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan.
Baca Juga: Kang Ben: Janggal Kebijakan Membawa Limbah B3 Blok Rokan ke Pulau Jawa
Sudah 93 tahun berlalu, sumpah pemuda akan selalu diingat, bahkan setiap 28 Oktober, kita dapat melihat media online—Youtube, Instagram, bahkan Twitter—atau website instansi pemerintah/swasta yang mengunggah poster, animasi, atau kolase foto sumpah pemuda. Tentu dengan maraknya unggahan tersebut, kita berharap eksistensi bahasa Indonesia tetap terjaga hingga kini—bukan hanya media “iklan” atau aji mumpung sebagai ajang ikut-ikutan. Para pengunggah tersebut harus mengirarkan diri betapa pentingnya arti bahasa Indonesia.
Saat ini kita tidak boleh hanya berpangku tangan kepada Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa untuk melestarikan dan menjaga bahasa Indonesia. Kita harus mulai dari individu masing-masing untuk menjaga eksistensi bahasa Indonesia. Dalam hal ini, patutlah kita mencontoh Totok Suhardijanto (melalui twitter: @to2k).
Sepertinya, Totok Suhardijanto menyadari kondisi pandemi menyebabkan bahasa asing “menjajah” bahasa Indonesia.
“Singapura melakukan penggerendelan (lockdown) di tengah pandemik virus covid-19. Saya usulkan penggerendelan untuk padanan lockdown,” cuit Totok Suhardijanto yang berprofesi sebagai pengajar tetap di Dapertemen Linguistik UI dan Ketua Indonesian Association for Computational Linguistics (INAL) melalui akun Twitternya pada 14 Maret 2020.
Usulan Totok Suhardiajnto, sepertinya, “belum sependapat” dengan pihak Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. Menurut KBBI daring, padanan kata lockdown adalah kuncitara ‘karantina wilayah’. Kata yang asing terdengar di telinga masyarakat Indonesia. Uniknya lagi, pemerintah menggonta-ganti nama pembatasan Corona menjadi PSBB, PPKM, PPKM Darurat, dan PPKM Level 3-4.
Hal ini mengakibatkan kata kuncitara akan makin “tenggelam” di masyarakat. Tentu bukan hanya kata lockdown yang viral saat pandemi, melainkan juga kata social distancing, work from home, dan new normal. Perlahan demi perlahan, bahasa Indonesia akan tergerus dengan istilah-istilah asing.
Baca Juga: Di Era Herman Deru, Ada Rp17 Miliar Lebih Potensi Kebocoran Proyek Infrastruktur? Simak Ulasannya!
Kembali ke sumpah pemuda, perlu adanya revolusi bahasa agar bahasa Indonesia dapat diterima oleh masyarakat. Ingat “Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia”. Kalimat yang sahih ini harus kita tempatkan dengan “adil”. Menjiplak slogan Badan Pengembangan dan Pembinaan bahasa “Utamakan Bahasa Indonesia, Lestarikan Bahasa Daerah, Kuasai Bahasa Asing” adalah hal yang arif—kehadiran bahasa Indonesia harus diutamakan.
Akan tetapi, dalam hal ini, Endarmoko berpendapat sebaliknya bahwa “pemerintah tidak berhasil meyakinkan (masyarakat) bahwa ia punya kemauan politik dalam soal bahasa kebangsaan kita.” Lebih lanjut, ia mengungkapkan bahwa lembaga itu (Pusat Bahasa—kini Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa) masih harus lebih banyak mengurusi pernak-pernik yang tak pernah ada habisnya seputar bangun bahasa Indonesia baku. ***
Artikel ini merupakan sebuah opini yang ditulis oleh Suwandi, praktisi pendidikan bahasa.
Artikel Terkait
Menulis: Menangkap Ide dan Memenjarakannya
Tanah Tabu: Perempuan dan Nasib Ibu Bumi
Masyarakat Tidak Makan Aspal, Apakah APBN Pro Rakyat? Kenapa Banyak Dibangun Jalan Tol?
Menjelang Muktamar NU Ke-34 dan Isu Gus Yaqut Digeser Ke Menpora?
Kibaran Bendera Israel dan Palestina di Muktamar NU Lampung
Netizen: Kematian Anjing Canon Viral di Twitter, Kok Yang Dibawa-bawa Isu SARA?
Makna Sumpah Pemuda buat Milenial Kekinian
Makna Sumpah Pemuda buat Pejabat