Menyamakan Editor dengan Polisi Saltik: Anda Waras?

photo author
- Selasa, 2 November 2021 | 15:57 WIB
Ilustrasi (@sekar_mayang)
Ilustrasi (@sekar_mayang)

Jadi, saya akan lirik kembali naskah sebelumnya. Kalau memang punya potensi, saya akan minta si penulis merevisi atau—apes-apesnya—menulis ulang naskahnya. Jika hasilnya jauh lebih baik, akan saya loloskan naskahnya. Dengan catatan, asistensi selama proses editing akan lebih kedjam bwahahahaha ….

Ketiga, dan yang paling saya anggap penting, editor membantu penulis membangun rasa percaya diri terhadap naskahnya. Tidak jarang, naskah sudah lolos saringan, bahkan sudah masuk proses penyuntingan, eh, penulisnya malah semacam menyerah dengan kekedjaman saya. Padahal, tulisannya bagus, buktinya lolos casting.

Baca Juga: Perempuan Muda Tewas di Toilet Kamar Apartemennya, Penyebab Kematiannya Masih Diselidiki Polisi

Ini tentu di luar penyakit malas yang tiada obatnya itu. Biasanya lebih disebabkan rasa pesimis yang menghantui si penulis. Ia tidak yakin dengan hasil kerjanya; apakah pembaca akan suka atau akan muak.

Padahal, suka atau tidaknya pembaca sebenarnya sudah terwakili oleh editor. Kami, para editor, juga paham apa yang diinginkan pembaca. Dan, jika kami menyarankan sesuatu, tentunya sudah melalui berbagai pertimbangan.

Memang benar, kami tidak akan membiarkan saltik bertebaran. Jika terlewat satu atau dua buah saltik, masih wajar. Sebab, kesempurnaan hanya milik Tuhan (uhuk). Akan tetapi, jika jumlah saltik melampaui kewajaran, penulislah yang seharusnya introspeksi diri. Mengapa banyak saltik? Terburu-buru? Atau, telanjur terdoktrin jargon di luaran perihal “menulis satu novel dalam satu hari”?

Baca Juga: Mal di Wilayah PPKM Level 1 Boleh Terima Pengunjung 100 persen dari kapasitas

Mungkin perlu diketahui, jika sebuah buku dinilai baik, yang biasanya disorot adalah penulisnya. Disanjung, dipuji, diberi penghargaan. Akan tetapi, jika sebuah buku dinilai kacau dan banyak saltik, yang selalu disorot adalah editornya. Dianggap tidak becus bekerja, tidak paham aturan main, dan makan gaji buta. Pedih, Bun.

Jadi, apakah masih ingin menganggap editor sekadar polisi saltik? Coba sini, saya cek jidatnya: anget atau enggak?***

Apabila artikel ini menarik, mohon bantuan untuk men-share-kanya kepada teman-teman Anda, terima kasih.

 

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizinĀ redaksi.

Editor: Insan Purnama

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

Nilai-Nilai HAM: Antara Janji Moral dan Kenyataan Sosial

Selasa, 16 Desember 2025 | 09:38 WIB

Dugaan Perjudian di Gacha Game dan Loot Box di Indonesia

Minggu, 14 Desember 2025 | 14:51 WIB

PKB Blunder, M Nuh dan Nusron Berkibar

Jumat, 12 Desember 2025 | 19:39 WIB

Konflik di PBNU dan Hilangnya Ruh Khittah Ulama

Senin, 8 Desember 2025 | 16:19 WIB

OPINI: Ketika Rehabilitasi Menyalip Pengadilan

Kamis, 4 Desember 2025 | 12:25 WIB
X