Mungkin, karena itulah, para penulis golongan tertentu tidak mau menambahkan unsur seks ke dalam naskah mereka. Bisa jadi, mereka takut pembaca terpancing nafsunya dan melakukan sesuatu di luar batas. Atau, ya, sesederhana “nggak mau nambah dosa” atau “nggak mau bikin orang lain nambah dosa”.
Apalagi, menjamurnya aplikasi membaca lewat ponsel, membuat persaingan mendapatkan pembaca makin gila. Bab yang mengandung unsur seks menjadi primadona untuk menggaet konsumen. Dipajang di media sosial, bahkan dipacu dengan dana promosi. Tidak peduli jalan cerita absurd, dialog kelas receh, atau alur berbelit-belit yang sengaja dipanjang-panjangkan demi meraup bonus.
Baca Juga: Berubah, Syarat Naik Pesawat di Jawa – Bali Cukup Tes Antigen, Tidak Perlu Lagi Tes PCR
Seorang teman pernah mengeluhkan dirinya yang tak sanggup menampik deras arus. Ia termasuk penulis yang lebih memilih pemakaian metafora untuk berbagai adegan dewasa. Paling tidak, ia tidak semena-mena membiarkan para tokohnya bermain peluh dengan cara ‘brutal’.
Ia terpaksa ikut bermain ‘kotor’ karena tuntutan isi dompet. Sayangnya, ia sendiri merasa, makin lama ia berenang di arus, makin ia tidak mengenali tulisannya sendiri. Sungguh, saya yang mendengar curahan hatinya jadi ikut gemas dengan fenomena yang terjadi.
Agak ngenes, memang. Padahal, kalau saja mereka tahu, menuliskan adegan seks tidak harus vulgar, tidak harus memamerkan peluh dan lendir. Ada pula yang bermain halus, memakai metafora lembut, membawa khayalan pembaca jauh ke lapisan terdalam dirinya. Jadi, alih-alih nafsu terpancing, pembaca malah merasa terharu dengan tebalnya cinta yang dibawa penulis untuk mereka.
Baca Juga: Intip Harta Kekayaan Herman Deru Mulai Sebelum Jadi Gubernur Sumsel, Hingga Tahun 2021
Susah? Tidak juga. Saya rasa tidak akan sesulit menyusun skripsi (menyusun, ya, bukan salin-tempel). Sekali lagi, kita hanya perlu mempertajam kepekaan kita terhadap segala keindahan di semesta ini.
Jika Anda pernah membaca Angels and Demons, Anda akan paham mengapa Dan Brown berani bercerita bahwa bahkan seorang yang selibat pun tidak mampu mengingkari kecintaannya terhadap insan lain. Hingga ternyata buah cinta tersebut menimbulkan polemik berkepanjangan, bahkan sebuah kematian misterius.
Apakah buah cinta itu dihasilkan dari aktivitas di atas ranjang? Ternyata tidak. Ia melibatkan teknologi, tetapi tidak mengurangi nilai cinta keduanya. Berahi tidak harus diselesaikan dengan penyatuan kelamin. Berahi bisa disalurkan dengan cara lain, tanpa mengurangi esensinya.
Baca Juga: Erdogan Tidak Akan Hadiri COP26 dan Menuduh Inggris Gagal Memenuhi Standar Protokol Keamanan
Ah, mungkin ada di antara kalian yang belum mendapat poinnya.
Intinya, seks adalah sebuah kelaziman bagi siapa pun yang telah memasuki usia matang. Apa pun profesinya, apa pun latar pendidikannya. Dan, dalam sebuah karya sastra, khususnya genre dewasa, ia wajib hadir, seberapa pun samarnya.***
Apabila artikel ini menarik, mohon bantuan untuk men-share-kanya kepada teman-teman Anda, terima kasih.
Artikel Terkait
PUISI: Aku Akan Menangis Lain Kali
PUISI: Rembulan Menangis
CERPEN: Pertemuan Kedua
PUISI: Sekisah Cappucino
Puisi Cevi Whiesa Manunggaling Hurip.
PUISI: Melukis dalam Doa dan Harapan
PUISI : Cappucino Pagi
CERPEN: Menunggu Kereta