Baca Juga: Serba-Serbi Kopi yang Perlu Anda Ketahui
Ah, entah apa sebutannya, Em, yang jelas ia memiliki pendar lembut di sekitar tubuhnya. Aku bahkan masih ingat aromanya. Aroma manis sekaligus getir yang terus saja mengusik pikiranku bahkan berhari-hari setelahnya.
“Bagaimana dengan wajahnya, Dez?”
Sulit kujelaskan, Em. Aku tidak pernah melihat wajah seperti itu sebelumnya. Padahal, berapa banyak perempuan yang sudah kutemui? Mulai dari yang berwajah biasa-biasa saja tetapi dengan rasa tubuh yang luar biasa, sampai yang berwajah bak Victoria’s Angel. Aku tetap tidak melihat adanya kesamaan dengan sosok yang kulihat hari itu. Dan, yang paling kuingat adalah senyumnya. Senyum yang membuatku tetap terjaga, yang membuatku tetap bernapas, yang membuatku mempertanyakan hidupku beberapa tahun belakangan. Senyumnya, Em, adalah keseluruhan sosoknya. Ia tampak seperti bisa menjelma sebagai perempuan mana pun, tetapi senyumnya tidak pernah berubah. Iya, aku bertemu setidaknya tiga kali dengan sosoknya. Tiga kali yang nyaris merenggut nyawaku, Em.
Baca Juga: Mengenal Teknologi Canggih VCM Yang Diterapkan Tol Palembang-Indralaya
Sejak itu, aku diam. Aku tidak pergi bekerja sampai manajer klub malam itu meneleponku. Mereka sampai harus menawarkan kenaikan gaji per penampilanku di sana, plus bonus-bonus yang entah apa judulnya. Cukup menggiurkan sebenarnya, Em, membayangkan apa saja yang bisa kubeli dengan uang sebegitu banyak setiap minggunya. Akan tetapi, ada bisikan dari dalam sini yang seolah-olah menahanku untuk menerima tawaran itu. Alih-alih menerima, aku malah mengirimkan surat pengunduran diri keesokan harinya.
“Dan, kamu mulai bermain di taman kota?”
Belum, tetapi tak lama setelah berhenti dari klub malam itu, aku memang kerap menyendiri di taman kota. Hanya berteman gitar, buku catatan, dan secangkir kopi. Beberapa pengunjung taman menontonku bermain gitar hingga habis satu lagu. Mereka bertepuk tangan, Em, dan aku juga bisa melihat mata mereka. Mata yang menunjukkan apresiasi luar biasa, sesuatu yang nyaris tak pernah kudapatkan selama bertahun-tahun aku mengisi panggung klub malam terbesar di kota ini. Ada yang hangat di dalam sini, Em, yang pelan-pelan meruntuhkan kebekuan di hatiku.
Baca Juga: Kejati Jabar Selidiki Dugaan Korupsi pada PT RG Rajawali II, Anak Perusahaan BUMN RNI
Salah seorang pengunjung taman yang menontonku ternyata adalah pengelola mal. Ia menawariku mengisi panggung di sana. Well, aku sebenarnya tidak jatuh miskin, Em. Aku masih punya simpanan untuk sekadar bertahan hidup beberapa bulan lagi. Hanya saja, kamu tidak tahu bagaimana suara-suara dalam kepalaku riuh menyuruhku menerima tawaran itu. Jadi, ya, aku menerimanya.
Lalu, kita bertemu, Em.
Kamu di sana, dengan segala adanya kamu, dan juga senyummu. Senyum yang sama dengan yang selalu kulihat saat aku nyaris mati.
“Semesta berkonspirasi, Dez.”
Mungkin saja. Sempat terpikirkan, memang, bahwa apa yang terjadi di alam raya ini saling berkaitan satu sama lain. Bayangkan jika aku jadi menerima tawaran manajer klub malam itu, aku tidak mungkin bermain di taman kota pada siang hari sebab aku terlalu sibuk tidur atau mungkin terlalu sibuk mencari perempuan-perempuan untuk memuaskan fantasiku soal mereka. Lalu, aku tidak mungkin bermain di panggung mal itu, dan …
Baca Juga: Kibaran Bendera Israel dan Palestina di Muktamar NU Lampung
Artikel Terkait
PUISI: Sekisah Cappucino
Puisi Cevi Whiesa Manunggaling Hurip.
PUISI: Melukis dalam Doa dan Harapan
PUISI : Cappucino Pagi
CERPEN: Menunggu Kereta
CERPEN FANTASI: Kia, Kakek, dan Alat Tulis Ajaib!
CERPEN: Pensil Frea
PUISI: Rindu Sekolah
PUISI: Haiku untuk Hatimu
CERPEN: Kisah Seorang Santri