KLIKANGGARAN--Yang akan kuceritakan di sini, Em, adalah masa-masa sebelum aku mengenalmu. Masa-masa di saat yang ada dalam otakku hanya bagaimana caranya bersenang-senang, terutama dengan musik, perempuan, dan alkohol. Masa-masa ketika aku pernah amat membenci diriku sendiri hanya karena gagal mendapatkan hati seorang perempuan yang amat kusukai. Masa-masa yang cukup gelap, dingin, dan tampak seperti tidak punya pintu keluar.
Beberapa orang yang kukenal rasanya pernah menasihatiku soal itu. Hanya saja, untuk apa kudengarkan? Mereka tidak menghidupiku, bukan pula keluargaku. Aku cukup senang, cukup puas. Berbekal kemampuanku bermain gitar, bernyanyi, juga mencipta lirik-lirik sederhana, aku bisa memikat perempuan mana pun yang aku mau. Kalau sedang ingin, aku bisa mendapatkan dua atau tiga perempuan dalam satu waktu.
Iya, Em, semahir itu aku dalam hal menggaet perempuan.
Baca Juga: Wagub Jambi, Abdullah Sani: Peringatan Maulid Nabi Menyadarkan Pentingnya Persatuan dan Kesatuan
Malam-malamku tidak pernah sepi. Selalu ada yang menemani barang satu atau dua jam. Bahkan, jika ingin, aku bisa menahan mereka selama beberapa hari. Dan, mereka akan melakukannya dengan sukarela. Terkadang, aku sampai harus mengusir mereka agar aku bisa mencari yang lain. Yah, bagaimanapun, harus ada yang memuaskan sosok binatang di dalam tubuhku, Em.
Tak jarang, beberapa dari mereka kembali mencariku. Katanya, mereka rindu aku, rindu perlakuanku terhadap mereka, rindu memacu deru napas bersamaku. Kusuruh mereka mencari lelaki lain, tetapi mereka tidak mau. Ya, sudah. Aku toh bukan orang yang gemar menyia-nyiakan kesempatan. Apalagi, itu gratis.
“Dez?”
“Ya?”
“Apa kamu pernah merasa bosan dengan itu semua?”
Baca Juga: Denmark Open 2021: Praven - Melati Gagal Maju ke Final, Indonesia Bisa Tanpa Gelar
Bosan? Mungkin pernah. Jujur, aku tidak terlalu peduli dengan apa yang hatiku rasakan saat itu. Mungkin iya, aku pernah merasa bosan, tetapi hal itu tidak pernah jadi masalah. Tidak pernah kujadikan masalah, tepatnya. Jika kebosanan itu muncul, aku akan menanggapinya dengan mencari perempuan lain, atau minum lebih banyak lagi. Aku tidak pernah kesulitan mendapatkan dua hal itu, bahkan terasa amat mudah bagiku.
Lagi pula, Em, imajinasiku tidak pernah kering. Bagaimana mungkin aku bisa bosan? Tidak akan. Kebosanan itu hanya akan menuntutku untuk berkhayal lebih baik lagi, lebih liar lagi, lebih tidak masuk akal lagi. Khayalan-khayalan yang mungkin hanya akan kamu temukan dalam film atau novel-novel dewasa, yang mungkin akan membuatmu mual, yang tidak akan kuceritakan detailnya kepadamu, Em, karena aku tidak mau merusak benakmu yang jernih itu.
Sampai suatu saat, Em, aku seperti melihat sosok malaikat dalam kondisi antara sadar dan nyaris jatuh tertidur. Atau mungkin tepatnya, nyaris mati.
“Malaikat?”
Artikel Terkait
PUISI: Sekisah Cappucino
Puisi Cevi Whiesa Manunggaling Hurip.
PUISI: Melukis dalam Doa dan Harapan
PUISI : Cappucino Pagi
CERPEN: Menunggu Kereta
CERPEN FANTASI: Kia, Kakek, dan Alat Tulis Ajaib!
CERPEN: Pensil Frea
PUISI: Rindu Sekolah
PUISI: Haiku untuk Hatimu
CERPEN: Kisah Seorang Santri