Matahari makin condong ke barat. Awan mendung kembali hadir, meskipun tidak sepekat sebelumnya. Angin malu-malu berembus, membawa aroma jepun dan melati. Jujur saja, aku tidak ingin hari ini lekas berakhir. Aku masih ingin bersama Moy, selama yang aku sanggup. Aku ingin mengganti tahun-tahun yang hilang, mengganti deritanya menjadi senyum.
“Wajar jika aku tidak ingin ditemukan, Ru,” kata Moy. “Lebam-lebam itu tidak bagus untuk dipamerkan.”
Memang, siapa yang tega melihat wajah yang biasanya penuh tawa itu berhias lebam? Tidak ada! Namun, bukan itu maksudnya. Moy terlalu keras pada dirinya sendiri. Ia selalu merasa tidak ada yang mau peduli padanya.
“Kamu selalu menghindar, Moy.”
Baca Juga: Kerja Sama dengan PNM, Sandiaga Uno Berikan Akses pada 34 Juta Pelaku Parekraf
Moy tertawa. “Siapa yang menghindar, Ru? Aku tidak pernah menghindar.”
“Kamu … selalu menghindar,” kuulang pelan-pelan ucapanku. “Kamu menghindar dari orang-orang yang menyayangimu. Kamu bahkan menghindar dari keluargamu sendiri.”
Moy membuang muka. “Aku tidak menghindar,” gerutunya.
“Sudahlah, Moy. Aku sudah tahu semuanya dari Cecil.”
Artikel Terkait
Dua Gelas Kisah Bagian Empat
Dua Gelas Kisah Bagian Lima
Dua Gelas Kisah Bagian Enam
Dua Gelas Kisah Bagian Tujuh
Dua Gelas Kisah Bagian Delapan
Dua Gelas Kisah Bagian Sembilan