Novel: Kopi Sore dan Timbunan Cinta Bagian Tiga

photo author
- Sabtu, 11 September 2021 | 16:47 WIB
Kopi Sore dan Timbunan Cinta (Dok.klikanggaran.com/Dodi)
Kopi Sore dan Timbunan Cinta (Dok.klikanggaran.com/Dodi)

Kopi sore dan timbunan cinta merekam yang tak terucap dari bibir kedua remaja yang masih tanpa banyak bicara duduk di meja sudut kedai. Gading mengangguk kemudian, lalu tersenyum setelah lama menatap gadis di depannya. Garis tegang di wajahnya memudar, mungkin karena sudah merasa tenang. Ratih ikut tersenyum, lehernya bergerak-gerak halus seperti menelan sesuatu. Mungkin gadis itu sedang menelan timbunan cintanya agar melesat jauh hingga masuk ke dalam perut.

Sepasang cangkir kopi sore dan timbunan cinta tergeletak diam di depan keduanya. Dua cangkir yang sudah kosong, tersisa ampas kopi. Sore merambat dengan cepat, mungkin ingin segera menjemput senja. Tamu kedai makin ramai, Gading melirik jam tangannya.

Melihat gerakan Gading, Ratih segera mengemasi beberapa barang yang tadi sempat dikeluarkannya dari tas. Secarik kertas yang tadi dia coret-coret acak dengan cepat dia selipkan ke dalam buku, lalu memasukkannya ke dalam tas. Sobekan kertas pembungkus roti bertuliskan ‘kopi sore dan timbunan cinta yang telah kandas ini, semoga suatu hari nanti terulang, semoga aku masih bisa menatap senyum di bibirmu dari dekat pada sore lain, GR-9 September’.

Baca Juga: Monolog Sepatu Bekas

“Mau nambah kopinya?”

Ratih menggeleng.

“Pulang, yuk. Besok kita ujian, kan.”

Ratih mengangguk.

Tangan Gading terangkat memberikan tanda pada seorang pelayan, lalu memberikan uang kopi setelah pelayan mendekat. Tanpa menunggu kembalian diraihnya tangan Ratih dan mengajaknya keluar kedai.

Di dekat pintu keluar duduk sepasang remaja, mungkin sepasang kekasih. Kedua tangan mereka saling menggenggam, mata mereka menyiratkan kemesraan tiada tara. Ratih melirik keduanya dengan tatapan layu, kemudian melepas tangannya dari genggaman Gading. Diambilnya kunci dari dalam tas dan melangkah cepat masuk mobil. Tak lama kemudian mobil Ratih melaju berselimut hening.

Baca Juga: Puisi Basi untuk Sang Maha

“Kamu benar-benar makin pendiam,” kata Gading ketika Ratih menepikan mobil di depan gang rumah kosnya.

Ratih menatap Gading, tak tahu harus menjawab apa.

“Kenapa aku merasa, kamu masih marah padaku.”

Halaman:

Artikel Selanjutnya

Cerpen: Lelaki di Balik Layar 1

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Kitt Rose

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

X