Wajah Moy tampak murung. Ia akan tetap seperti itu jika aku tidak mulai bicara lagi.
“Aku pernah melihatmu di kantin sekolah, Moy. Itu … dua puluh tiga tahun lalu?”
Moy bereaksi. Ia tak lagi meletakkan dagunya di meja. Duduknya tegak, senyumnya muncul. Seperti malu-malu mengakui kesalahannya, seperti gadis kecil yang ketahuan memakai lipstik ibunya. Aku harus berulang kali meyakinkan diri agar tidak bertindak konyol. Ya, ini masih ruang publik. Aku tak mau orang-orang memandangku dengan heran.
“Kantin sekolah?”
Aku mengangguk.
“Ya, aku ingat itu, Ru. Aku ingat betapa darah serasa berhenti terpompa begitu kamu menyapaku.”
Baca Juga: Bantuan Operasional Masjid dan Musala Senilai Rp 6,9 M, Pengajuan Paling Lambat 12 September 2021
Betul sekali. Saat itu aku melihat wajah Moy yang tadinya ceria—karena seperti tak sabar memilih kudapan yang ada di meja kantin—menjadi pucat pasi seperti baru saja melihat hantu. Moy bahkan tidak membalas sapaanku dan pergi begitu saja dari kantin.
Lain waktu, aku dan Moy berpapasan di selasar kelas. Moy jalan sembari menunduk, entah apa yang ditekuninya. Kami nyaris bertabrakan jika saja aku tidak berhenti melangkah. Aku menggodanya sedikit. Dan, ketika Moy mendongak, aku melihat matanya melebar dan napasnya tersendat.
Artikel Terkait
Dua Gelas Kisah Bagian Satu
Dua Gelas Kisah Bagian Dua
Dua Gelas Kisah Bagian Tiga
Dua Gelas Kisah Bagian Empat