Ini hampir tengah hari. Kirana dan Dira baru saja meminta izinku untuk pergi ke kedai cepat saji di seberang taman. Kukatakan pada mereka, aku tidak ikut makan, jadi kuminta mereka bungkuskan satu porsi untukku.
Mereka melangkah dengan riang. Kirana selalu menggandeng tangan Dira jika berjalan berdua. Selalu kuulang nasihatku, mereka tidak boleh mengabaikan satu sama lain dan harus saling menjaga. Dira malah berseloroh, “Itu sudah otomatis, Ayah. Aku pasti akan menjaga Kak Kirana, dan Kakak juga pasti akan menjagaku.”
Dua matahariku itu sebentar lagi beranjak remaja. Namun, sepertinya aku tidak perlu terlalu khawatir. Apa yang terjadi di masa sebelumnya telah membentuk mereka menjadi gadis-gadis yang tangguh.
“Kenapa kamu tidak ikut makan, Ru?”
“Tidak apa-apa, Moy. Aku ingin menemanimu di sini.”
Baca Juga: Dua Medali Perunggu Disabet pada IESO 2021, Ini Dia Tim Indonesia Perwakilan dari Tujuh Kota
Moy bangkit dari duduknya dan berpindah ke sampingku. Aku tidak mengharap ini terjadi, bahkan cukup terkejut dengan tindakan Moy. Kami tidak boleh berdekatan terlalu lama.
“Kalau kamu terlambat makan, lambungmu akan sakit,” kata Moy.
“It’s okay, Moy. Aku makan cukup banyak tadi pagi. Perut ini masih terasa penuh. Lagi pula, sudah kubilang, kan, aku ingin menemanimu?”
“Dasar pembohong payah,” gumam Moy. Ia lalu menyandarkan kepalanya ke bahuku. “Kamu sudah cukup sering menemaniku, Ru. Lebih dari yang aku minta. Kamu hadir … ketika seharusnya bukan kamu yang berada di sana. Kamu hadir … ketika aku tak lagi bisa membedakan antara tawa dan tangis. Kamu hadir … ketika aku nyaris kehabisan waktu.”
Aku mencengkeram jemariku sendiri sampai terasa kebas. Sudah kuingatkan Moy, ia tidak perlu lagi mengungkit hal itu.
“Yang belum aku mengerti sepenuhya, dari mana kamu tahu keberadaanku, Ru? Tidak mungkin itu Riana. Aku tidak pernah berkomunikasi lagi dengan Riana selepas kelas tiga. Tidak ada satu pun teman sekolah kita yang mengetahui keberadaanku. Mereka sudah melupakan aku sedetik setelah kelulusan. Tidak ada, Ru. Tidak ada yang datang,” Moy kembali duduk tegak dan menatapku, “kecuali kamu.”
Suara Moy ibarat simfoni dari negeri para peri. Begitu jauh, begitu sulit dijangkau, tetapi aku mendengarnya dengan jelas. Aku sendiri agak kerepotan menjelaskan dari mana aku tahu keberadaan perempuanku ini. Sebab, jawabannya akan terasa janggal bagi kebanyakan orang.
Artikel Terkait
Dua Gelas Kisah Bagian Satu
Dua Gelas Kisah Bagian Dua
Dua Gelas Kisah Bagian Tiga
Dua Gelas Kisah Bagian Empat
Dua Gelas Kisah Bagian Lima
Dua Gelas Kisah Bagian Enam
Dua Gelas Kisah Bagian Tujuh
Dua Gelas Kisah Bagian Delapan