Baca Juga: Sebanyak 26 Desa Persiapan di PALI Kejepret Bantuan Rp100 juta, Mantap dan Masya Allah
Tokoh ibu juga digambarkan sebagai penggerak jiwa agamais Si Buyung dengan menyuruhnya mengaji.
Sebenarnya, saya menangkap maksud yang baik dari sikap Sang Ayah kepada Buyung.
Sebagai seorang Bapak, tokoh Ayah tidak ingin anaknya out of frame dari tanggung jawab sebagai laki-laki.
Baca Juga: Tiga Hari Pencarian, Korban Bunuh diri Terjun ke Sungai Serayu Ditemukan
Pada zaman itu frame laki-laki digambarkan dengan badan yang keras besar dengan tangan yang kotor—tanda dia bekerja membanting tulang—menyukai hal-hal yang berbau keras dan tegas. Sementara itu, pandangan tentang laki-laki yang menyukai bunga dimaknai dengan laki-laki yang lemah, kemayu, dan melankolis.
Dengan demikian, pikiran positif saya beranggapan bahwa Sang Ayah tidak mau Buyung menjadi seseorang yang tidak tegar—walaupun memang caranya salah karena kasar.
Saat membaca cerpen Kuntowijaya ini—dari sudut pandang Buyung—saya teringat dengan anak laki-laki saya yang pertama.
Kesan seorang anak pasti akan berbeda dengan orang tuanya saat melihat objek yang sama.
Lalu, kesan itu pun nantinya akan melahirkan pandangan yang berbeda tentang suatu objek itu.
Saya merasakan bahwa pandangan saya terhadap sesuatu jauh berbeda dengan apa yang dirasakan anak saya.
Pun dengan yang tergambar dalam cerpen ini, saya pikir Buyung beranggapan bahwa menyukai bunga adalah hal yang wajar—meski dia notabenenya laki-laki.
Menurut Buyung kedamaian jiwa adalah segalanya yang tecermin dari pemandangan damai bunga-bunga yang segar di dalam air dan semerbak wanginya.