Aku melepas keberangkatan Gita, calon istriku, di bandara. Kami sama-sama menangis, walau dengan alasan yang berbeda. Aku menangis karena kami akan berpisah untuk waktu yang entah. Sementara Gita, menangisi keikhlasanku yang memberinya izin untuk menjadi sukarelawan di Gaza.
Sesungguhnya aku mengutuk adanya pandemi ini. Benar-benar mengacaukan segalanya. Seharusnya, tahun ini kami akan melangsungkan pernikahan. Persiapan perhelatan besar yang menjadi impian Gita sudah 90% selesai. Aku mempercayakan sebuah Wedding Organizer yang cukup ternama untuk mengurus semuanya. Jasa mereka sudah kulunasi dari uang tabunganku selama bekerja menjadi konsultan pajak. Aku benar-benar ingin Gita bangga karena sudah memilihku. Namun, semua harus tertunda untuk batas waktu yang tidak bisa ditentukan. Pihak pemerintah Indonesia menjembatani kepeduliannya pada anak-anak dan itu yang membuatnya semakin merasa terpanggil untuk berangkat ke Gaza.
*
Dengan begitu mudah Gita bisa melewati perairan menuju Gaza walau rasanya sulit dicerna dengan logika. Area itu sudah diblokade sejak beberapa tahun terakhir, pembatasan tambahan juga diberlakukan untuk mengatasi penyebaran virus Corona. Jangankan sukarelawan asing, penduduk asli saja sepertinya sangat sulit mengaksesnya.
Memantau perkembangan tentang Gaza di tengah-tengah jam kerja melalui internet menjadi rutinitas wajibku semenjak Gita berada di sana. Sudah 6 bulan kami terpisah dan angka penyebaran virus Corona yang melonjak tajam membuatku semakin mengkhawatirkan keadaannya.
Baca Juga: Shah Abbas I: Raja Kelima Dinasti Safawi Iran
Sesungguhnya ini bukan kali pertama kami berhubungan jarak jauh. Dulu, Gita pun mengenyam pendidikan di Singapore dan aku di Jakarta. Tapi situasinya jauh berbeda, keadaan di Gaza tidak seaman di Singapore atau Jakarta. Aksi serangan di antara kedua kubu semakin menggila. Rudal-rudal dilepaskan Hamas ke Israel, begitu pun sebaliknya. Aku tak sanggup membayangkan bagaimana jika Gita menjadi salah satu korbannya. Bagaimana dengan rencana kebahagiaan yang sudah kami impikan sejak 8 tahun yang lalu?
Aku melihat wajah kekasihku yang sumringah dari layar ponsel. Kami melakukan panggilan video. Dari senyumnya di balik masker aku tahu dia baik-baik saja dan semoga akan selalu baik-baik saja. Gita tinggal bersama sahabatnya, Ahhibat, yang dinikahi pria bernama Ilham seorang jurnalis asli Indonesia. Aku tak habis pikir mengapa Ilham tidak membawa istri dan anak-anak mereka untuk tinggal di Indonesia saja.
“Lalu, kapan kamu akan pulang? Aku takut kamu akhirnya jadi korban,” tanyaku di ujung percakapan setelah hampir satu jam mendengar rentetan cerita tentang anak-anak yang kini sangat menjadi pusat perhatiannya.
“Jika iya, itu sudah takdirku, Sayang,”
“Ringan sekali ucapanmu,” balasku cepat.
Artikel Terkait
Konflik Gaza Membayangi Penjualan Jet F-35 ke UEA dan Qatar
Awal Selasa, Setidaknya 30 Serangan Menghujam Kota Gaza, AS Telepon Netanyahu
Palestina Merayakan Dimulainya Gencatan Senjata Gaza Setelah 11 Hari Serangan Udara Israel
Nadine: Anak Palestina yang Menunjukkan kepada Dunia Penderitaan Anak-anak Gaza
Pilot Penjajah Zionis: Meledakkan Menara Gaza Adalah Cara Untuk Lampiaskan Rasa Frustrasi Kami
Gencatan senjata Israel-Gaza: Sisi telah menemukan cara untuk menarik perhatian Biden
Qatar: Provokasi Negara Israel Bisa Akhiri Gencatan Senjata di Gaza