Media Sosial: Gerakan Warganet untuk Check and Balance terhadap Kekuasaan

- Kamis, 18 Mei 2023 | 11:42 WIB
Berbagai aplikasi media sosial (Pixabay/Pixelkult)
Berbagai aplikasi media sosial (Pixabay/Pixelkult)

KLIKANGGARAN-- Berbicara tentang kekuatan dunia maya, kita bisa merujuk pada dua kasus: pertama, kasus penganiayaan seorang remaja oleh anak pejabat pajak dan kedua, postingan seorang tiktokers tentang kondisi jalan di Provinsi Lampung.

Kedua kasus itu menunjukkan bagaimana media sosial menawarkan sarana yang ampuh untuk keterlibatan langsung warga negara dalam kehidupan publik dan politik ketika dalam sistem politik formal, keterlibatan mereka hanya melalui perwakilan dalam parlemen.

Media sosial hadir untuk memenuhi kebutuhan akan bentuk demokrasi baru, sejenis demokrasi pasca-pemilihan yang semangat dan institusinya diresapi dengan komitmen untuk mengusir setan dari kekuasaan yang sewenang-wenang dan tidak dapat dipertanggungjawabkan secara publik.

Ketersediaan informasi melalui media sosial, seperti Facebook, Twitter, TikTok, dan Youtube serta munculnya konten buatan pengguna seperti blog pribadi telah meningkatkan kemampuan warga untuk berkomunikasi dan mengatur diri sendiri.

Telah ada peningkatan jumlah analisis mendasar tentang pentingnya media sosial yang muncul di ruang publik, demokrasi, dan keterlibatan sipil. Singkatnya, ada anggapan luas bahwa aplikasi media sosial seperti Facebook, Twitter, TikTok, dan YouTube memberdayakan masyarakat dan membuat proses politik lebih demokratis.

Apabbila kita tinjau literatur, potensi demokrasi internet telah ditonjolkan dalam karya-karya seperti Rheingold (1993) dan Kellner (1997), yang tesis utamanya adalah bahwa dunia maya memberikan dasar yang ideal untuk pertukaran dialogis transnasional. De Sola Pool (1983) melihat jaringan komunikasi berbasis komputer seperti internet sebagai 'teknologi kebebasan' yang demokratis. Pippa Norris (2019) berpendapat bahwa keterlibatan demokratis telah diciptakan kembali untuk zaman modern.

Gerakan warga yang muncul di seluruh dunia dengan demikian berfungsi sebagai check and balance atas hak prerogatif pemerintah. Jutaan warga telah turun ke jalan di kota-kota besar di seluruh dunia menuntut pemerintahan yang adil dan diakhirinya korupsi.

Demonstran untuk sementara menyapu bersih pemerintahan otokratis di banyak negara Arab seperti Tunisia, Mesir, dan Libya pada 2011, meskipun sebagian besar kemudian digantikan oleh rezim yang lebih represif.

Warga di Eropa selatan menyerukan diakhirinya langkah-langkah penghematan yang diberlakukan oleh Komisi Eropa yang mengarah pada eksploitasi ekonomi dan kemiskinan tanpa harapan. Gerakan anti-penghematan seperti 'Indignados' di Spanyol dan 'Aganaktismenoi' di Yunani menuntut diakhirinya penghematan dan peningkatan pengeluaran publik.

Di seluruh dunia, puluhan juta blogger telah menjadi lobi warga virtual yang mendorong perubahan lingkungan. Pada bulan Oktober 2017, The New York Times menerbitkan sebuah artikel yang mengungkapkan sejarah panjang pelanggaran seksual, dan tuduhan pelecehan seksual yang dilakukan Harvey Weinstein, salah satu produser Hollywood yang paling berpengaruh.

Di Indonesia baru-baru warganet dihebohkan oleh pengakuan seorang pegawai perempuan yang diminta untuk staycation apabila ingin kontraknya diperpanjang di sebuah perusahaan. Tentu saja kasus ini menjadi ramai setelah dibicarakan warganet di dunia maya. Perkembangan terakhir dikabarkan pelaku diberhentikan, namun korban tetap akan menempuh jalur hukum (Kompas, 15 Mei 2023).

Tuduhan pelecehan seksual yang terungkap memicu kampanye sosial global yang dikenal sebagai gerakan #MeToo melawan pelecehan di tempat kerja, yang terutama ditingkatkan dan disebarkan melalui percakapan di media sosial yang ditandai dengan tagar #MeToo, disarankan di Twitter oleh aktris Alyssa Milano (Nicolaou dan Smith, 2019).

Gerakan #MeToo telah menjadi kekuatan yang kuat dalam mengubah keseluruhan wacana tentang masalah pelanggaran seksual di tempat kerja, karena lebih banyak perempuan (dan laki-laki) didorong untuk mengungkapkan cerita yang mereka takut untuk berbagi.

Secara bersamaan, kasus ini menyajikan contoh bagaimana gerakan media sosial dan kemampuan yang telah diberikan media sosial kepada pengguna merusak spiral kesunyian dan dominasi opini publik tentang penerimaan pelecehan seksual di tempat kerja.

Halaman:

Editor: Insan Purnama

Tags

Artikel Terkait

Terkini

Jangan Jual Kucing Dalam Karung

Jumat, 26 Mei 2023 | 13:03 WIB

Natalius Pigai: INDONESIA BANGSA MULTI MINORITAS

Selasa, 23 Mei 2023 | 12:23 WIB

Revolusi

Jumat, 19 Mei 2023 | 14:40 WIB

Pemerasan Dunia Maya: Tidak Hanya BSI, Lho

Rabu, 17 Mei 2023 | 08:12 WIB

Sejarah Konspirasi

Rabu, 17 Mei 2023 | 05:14 WIB

Hoax Uang Kertas

Minggu, 14 Mei 2023 | 09:22 WIB

Siklus Plato

Minggu, 7 Mei 2023 | 20:10 WIB

Odious Debt alias Hutang Najis

Jumat, 28 April 2023 | 19:32 WIB

Reformasi Jilid Dua

Senin, 24 April 2023 | 21:12 WIB

Idul Fitri

Sabtu, 22 April 2023 | 19:19 WIB

Oligarki

Kamis, 20 April 2023 | 18:57 WIB

Quo Vadis Demokrasi di Indonesia

Selasa, 18 April 2023 | 13:15 WIB

Prestasi dan Kemanusiaan

Minggu, 2 April 2023 | 05:28 WIB
X