Ditulis oleh: Yus Dharman,SH.,MM ,M.Kn
Advokat/Ketua Dewan Pengawas FAPRI (Forum Advokat & Pengacara Republik Indonesia). Jakarta,7 Mei 2023.
KLIKANGGARAN -- Dalam tulisan kali ini saya menyadur dan menterjemahkan buku berjudul "REPUBLIK" hasil olah pikir Plato [427 SM - 347 SM] seorang filsuf dan matematikawan Yunani yang membagi bentuk pemerintahan menjadi lima, yaitu pertama adalah Aristokrasi yakni pemerintahan yang dipegang oleh sekelompok cerdik pandai, berpihak pada peraturan dan perundang-undangan sebagai pedoman tata kelola pemerintahan yang baik, bersih, dan benar, yang dapat mencerminkan rasa keadilan, sehingga tercipta masyarakat adil dan makmur gemah ripa loh jinawi.
Setelah waktu berlalu, penguasa pun berganti, kekuasaan kemudian diwariskan ke generasi selanjutnya, bisa anak-anak dan cucu-cucunya atau orang dekat si penguasa terdahulu. Dalam perjalanan waktu, lebih-lebih dipengaruhi oleh orang sekeliling kekuasaan serta bawahan - bawahan penjilat, yang ABS (asal bapak senang) yang mengkultuskan pemimpin puncaknya, dengan harapan dapat kedudukan dan jabatan di pemerintahan, munculah sifat hedonis sang penguasa dan keluarganya, sehingga bergeserlah visi dan misi negara aristokrasi menjadi negara timokrasi, pemerintahan yang dipimpin oleh sekelompok orang yang tidak tahu diri, Aji mumpung, tamak, dan serakah, mulai melupakan tujuan utama serta visi dan misi ber bangsa dan ber negara sesuai yang ditanamkan oleh founding father.
Selain itu, menghalalkan segala cara dalam merebut kekuasaan, money politik jadi budaya, mengkesampingkan rules of nation, intinya berkuasa, tidak peduli legal or ilegal, karena tujuan kekuasaannya, triple TA, tahta, harta dan wanita. Bermetamorfosa lah Pemerintahan aristokrasi menjadi demokrasi, kemudian menjadi pemerintahan oligarki, sebagaimana proses politiknya dipegang secara penuh oleh kelompok yang sedang berkuasa, sehingga rakyat kecil kehilangan hak partisipasinya sebagai warga negara atau hanya dijadikan sebagai penonton yang disuruh tepuk tangan, tanpa mengerti maksudnya.
Sudah tentu hal ini berpotensi terganggunya kesejahteraan masyarakat di masa mendatang. Kondisi ini bisa saja terjadi akibat pengaruh ikut campur tangan orang-orang lama yang berada dalam comfort zone, ingin melestarikan kekuasaan dan kekayaannya. Resikonya adalah amuk massa/ revolusi, seperti yang terjadi pada tahun 1998, Presiden Suharto yang sudah berkuasa 32 tahun dengan rezim orde barunya dilengserkan, serta dipaksa hengkang dari istana, muncul lah pemerintahan reformasi yang dipimpin oleh Habibie, kemudian melalui Pemilu 1999 begitu sangat demokratis, jujur dan adil, terpilihlah Gus Dur dan Megawati mejadi Presiden dan Wakil Presiden era reformasi, yaitu pemerintahan yang dipilih dari rakyat oleh rakyat untuk rakyat, saat itu merupakan pemerintahan ideal, golongan pengusaha menghasilkan tetapi tidak memerintah, golongan penjaga (TNI/Polisi/Satpol PP) melindungi tetapi tidak memerintah serta tidak dijadikan alat pemerintahan untuk melawan hukum.
Sedangkan untuk golongan cerdik pandai diberikan jabatan di Pemerintahan, termasuk di korporasi pelat merah (BUMN,BUMD, dst), merekalah yang memerintah (Pejabat), merupakan bentuk terbaik sebuah Pemerintahan di negeri ini.
Akan tetapi, sayangnya tidak berlangsung lama, kita semua tahu, Gus Dur hanya bertahan dua tahun jadi Presiden, lalu di kudeta! Kemudian merosot menjadi mobokrasi/okhlokrasi yaitu suatu bentuk pemerintahan yang produsernya para konglomerat, sutradaranya para Ketua Partai, pemeran utamanya rakyat yang tidak tahu apa-apa, tidak berpendidikan, tidak paham tentang pemerintahan dicari yg tampan dan keren (maaf salah ketik) agar gampang disuruh-suruh, dipoles untuk disandingkan di singgasana kekuasaan, mirip lakon Petruk Dadi Raja dalam perwayangan serta diiringi orkestra para Buzzer.
Akibatnya, pemerintahan yang dijalankan pun hanya pencitraan saja, jauh dari Clean and Good Government. Didalangi oleh orang-orang lama yang memiliki kekayaan melimpah hasil KKN dengan rezim sebelumnya, hanya berganti baju, reformasi serta lantang teriak maling, padahal maling. Mirip lagu Iwan Falls, maling teriak maling.
Sudah barang tentu tidak akan berhasil untuk mensejahterakan kepentingan rakyat banyak.
Plato menambahkan, demokrasi seperti dideskripsikan di atas, pelan tapi pasti akan bergulir menjadi pemerintahan tyrani, yaitu pemerintahan yang anti kritik, yang jauh dari rasa keadilan, dirinya sendiri pun tidak tahu jika dia sewenang-wenang dan ugal-ugalan, dia tidak tahu kalau dia tidak tahu. Level manusia ini paling buruk, jika tidak mau menggunakan kata “bodoh”. Model manusia seperti ini susah diingatkan, ngeyelan, selalu merasa tahu, merasa memiliki ilmu, paham semua persoalan, padahal ia tidak mengetahui apa-apa, sehingga akibatnya yang ia ucapkan lebih banyak menyesatkan karena tidak memiliki landasan keilmuan yang jelas dan mapan. Sotoy lah istilah anak jaman sekarang. Miris memang!
Kemudian yang akan terjadi, manakalah mayoritas masyarakat miskin makin miskin, disebabkan tata kelola Pemerintahan yang ugal-ugalan, akan tercipta masyarakat sumbu pendek, orang yang perutnya lapar, amarahnya tidakk terbendung, resikonya, amuk massa/revolusi lagi. Semoga peristiwa 1998 tidak terulang kembali, namun tidak dapat dihindari, hal tersebu dinamakan "siklus plato", Alakan seterusnya terjadi berulang-ulang. Harusnya kita semua belajar sejarah politik dunia agar tidak kesandung di lobang yang sama, keledai saja tidak tersandung di lobang yang sama. Walahualam Biishawab.
Artikel Terkait
Radio, Salah Satu Sumber Informasi Akurat dan Tepercaya
Rangkap Jabatan, Manfaat Atau Mudharat?
Prestasi dan Kemanusiaan
Quo Vadis Demokrasi di Indonesia
Oligarki
Catatan Perempuan Atas Refleksi 21 April: Pena Tulis R.A. Kartini: Dialektika Pemikiran dan Perjuangan
Idul Fitri
Reformasi Jilid Dua
Odious Debt alias Hutang Najis
Memulai Dari yang Kecil, Berpikir Positif Maka Hasilnya Akan Positif