"Ya, begini tiap hari. Kenapa memangnya?"
"Aku temenin, ya?"
Aku bingung harus menjawab apa, dan berangan-angan seandainya yang mengucapkan itu adalah Mas Surya. Namun, hatiku sekarang bergetar walaupun yang mengucapkan itu Kumbang.
"Hahaha.... deg-degan, ya. Rasanya kayak gita cinta SMA, ya?"
"Ah, Mas Kumbang bisa aja."
Selanjutnya kami berbincang dan bercanda hingga jam makan siang tiba dan anak-anakku pulang sekolah. Begitulah selanjutnya hari-hariku tak pernah sepi lagi. Kumbang mengisi celah-celah kehidupanku yang kosong, menghibur dan memberiku semangat.
Sedemikian rupa dia meyakinkanku bahwa suamiku tidak mungkin tidak mencintaiku lagi. Sementara aku sering menggodanya untuk menyudahi patah hatinya dan mulai membuka hati bagi perempuan lain.
Awalnya aku tulus mendorong Kumbang untuk segera menikah. Usianya terpaut lima tahun di atasku, sudah seharusnya dia mengakhiri masa lajangnya. Tapi, entah kenapa lambat laun hatiku seperti tertusuk duri tiap kali dia bercerita tentang teman wanitanya.
Aku seperti tidak ingin lagi mendengar dia menyebutkan nama perempuan mana pun. Aku bahkan tidak bisa menjelaskan pada diriku sendiri, kenapa aku merasa seperti ini.
~
Artikel Terkait
Cerpen: Wanita Jalang
Cerpen: Lelaki di Balik Layar 1
Cerpen: Lelaki di Balik Layar 2
Cerpen: Lelaki di Balik Layar 3
Novel: Kopi Sore dan Timbunan Cinta Bagian Satu
Novel: Kopi Sore dan Timbunan Cinta Bagian Dua
Novel: Kopi Sore dan Timbunan Cinta Bagian Tiga
Novel: Kopi Sore dan Timbunan Cinta Bagian Empat
Novel: Kopi Sore dan Timbunan Cinta Lima, Rumah Kaca
Cerpen: Ternyata Kau Bukan Lelaki