akulah wanita jalang, menerjang kerikil berduri di sela langkahmu
akulah wanita jalang, kala kau hirup angin surga pembunuh dahaga
akulah wanita jalang dalam cermin berdusta, di saat kau lupa bertanya siapa diriku dalam tatap liarmu
akulah mawar hitam, sehitam yang ingin kau puaskan dalam pandangan, bermainlah dengan telanjang kelopakku, puaskan ragamu, dan bercumbulah dengan pandangan akan hitam dan legam diriku, bercerminlah pada darah kepuasan yang melumuri kulit birahimu, lalu bacalah diktat cinta di dalam hitamku
akan kuhantar segenggam rasa untuk kau baca, di sana ada belahan makna, yang dapat menghentikan napasmu
*
Amora menatap suaminya tak percaya. Amarah jelas terlihat di wajah yang masih sangat dicintainya itu. Tak ada lagi kelembutan di sana, seperti ketika mereka mengikrarkan janji untuk saling mengerti dan menjaga perasaan masing-masing. Yang ada di wajah itu kini hanya kemarahan, mungkin kebencian, atau bahkan penyesalan. Rumah yang dibangunnya bersama suami tercinta itu kini terlalu penuh dengan pertengkaran. Semakin hari semakin panas. Tak ada lagi kalimat lembut dan menyejukkan.
Baca Juga: Perum Perhutani dan PTPN IX Mengalami Kerugian pada Divre Jateng, Ini Sebabnya
"Sabarlah, Mas," kata Amora berusaha lembut.
Artikel Terkait
Puisi Basi untuk Sang Maha
Bisik-Bisik di Bawah Selimut
Belajar dari Film Selesai, Apa yang Ingin Disampaikan Tompi?
Tips Sukses Melewati Hari di Tengah Pandemi
Monolog Sepatu Bekas