Sesekali dia memujiku, dan aku membungkus tiap pujiannya dalam hatiku sebagai bekal untuk kegembiraanku di rumah, di depan suami dan anak-anakku. Tiap kalimat yang diucapkannya bagaikan percikan embun yang mampu menumbuhkan kuncup-kuncup bunga yang layu dan hampir mati.
Kusiapkan sarapan Mas Surya dan anak-anak dengan wajah tak murung lagi. Kuselipkan sedikit kehangatan yang diberikan Kumbang di hatiku sebagai bekal untuk tetap menjadi yang terbaik buat suami dan anak-anakku. Perlahan kurangkai kembali keceriaan dan rumahku. Perlahan tawa di wajah anak-anakku pun kembali hidup.
"Aduh, Mawar! Aku ingin dengar suaramu." Kalimatnya di telepon mengawali pagi hariku yang tiba-tiba menjadi begitu cerah. Jantungku berdegup kencang saat mendengarnya, hingga aku tak dapat berkata-kata.
"Suami udah berangkat?"
"Sudah," jawabku sedikit kaget.
Saat itu aku baru menyadari, entah sudah sejak kapan Mas Surya tidak pernah lagi mencium keningku sebelum berangkat kerja. Dan, tak pernah lagi menelponku biarpun hanya untuk mengabarkan dia akan pulang pagi. Bahkan, entah sudah berapa lama Mas Surya tidak pernah lagi bercanda dengan anak-anak.
"Anak-anak?"
"Sudah juga."
"Sendiri, dong, di rumah?"
"Ya, begini tiap hari. Kenapa memangnya?"
"Aku temenin, ya?"
Aku bingung harus menjawab apa, dan berangan-angan seandainya yang mengucapkan itu adalah Mas Surya. Namun, hatiku sekarang bergetar walaupun yang mengucapkan itu Kumbang.
"Hahaha.... deg-degan, ya. Rasanya kayak gita cinta SMA, ya?"
"Ah, Mas Kumbang bisa aja."
Artikel Terkait
Cerpen: Wanita Jalang
Cerpen: Lelaki di Balik Layar 1
Cerpen: Lelaki di Balik Layar 2
Cerpen: Lelaki di Balik Layar 3
Novel: Kopi Sore dan Timbunan Cinta Bagian Satu
Novel: Kopi Sore dan Timbunan Cinta Bagian Dua
Novel: Kopi Sore dan Timbunan Cinta Bagian Tiga
Novel: Kopi Sore dan Timbunan Cinta Bagian Empat
Novel: Kopi Sore dan Timbunan Cinta Lima, Rumah Kaca
Cerpen: Ternyata Kau Bukan Lelaki