Suara Cecil hampir tak terdengar di antara keramaian peron pagi ini. Atau, mungkin Cecil sudah hampir kehabisan tenaga untuk sekadar mengeluarkan kalimat singkat? Beni hanya berharap dugaan terakhirnya salah total. Ia percaya, kekasihnya masih sanggup bertahan.
“Setengah jam lagi, Sayang.”
“Cukupkah untukku, Ben?”
Baca Juga: PUISI : Cappucino Pagi
Beni memejamkan mata. Hatinya menangis. Pedih rasanya, seperti luka yang terkena air laut. Ia memohon dalam hati agar Cecil berhenti bicara.
“Setengah jam lagi keretanya datang, Sayang. Bersabarlah.”
Beni tidak menjawab pertanyaan Cecil bukan karena tidak bisa, ia hanya tidak sanggup. Ia ingat apa perkataan dokter tahun lalu. Dengan kanker paru-paru stadium empat, Cecil diprediksi hanya bertahan selama lima bulan. Namun, Cecil berhasil melalui satu tahun penuh dengan semangat yang luar biasa. Bahkan, hari ini, ia minta diantar ke Cirebon hanya untuk berkunjung ke Taman Ade Irma Suryani, tempat ia menghabiskan waktu akhir minggu semasa ia kecil.
“Senang rasanya bisa duduk lagi di peron ini, Ben, menunggu kereta yang akan membawaku ke Cirebon.” Napas Cecil terengah-engah. “Ini sudah setengah jam sejak kita duduk di sini. Sebentar lagi, keretanya pasti datang. Bukankah menunggu kereta itu mengasyikkan, Ben?”
Beni tahu, ini bukan waktunya ia menjawab. Cecil hanya butuh pendengar. Dan, itu adalah kalimat-kalimat terpanjang Cecil dalam beberapa bulan terakhir, yang rupanya menjadi rangkaian kata terakhir yang Cecil ucapkan. Sebab, selepas itu, bersamaan dengan datangnya rangkaian kereta Cirebon Ekspress, Cecil memejamkan matanya, dan tak pernah terbuka lagi.
(Denpasar, 2014)
Artikel Terkait
Guru Berdaster
Kita Membutuhkan Kata Saling
PUISI: Aku Akan Menangis Lain Kali
PUISI: Rembulan Menangis
CERPEN: Pertemuan Kedua
PUISI: Sekisah Cappucino
Puisi Cevi Whiesa Manunggaling Hurip.
PUISI: Melukis dalam Doa dan Harapan