Baca Juga: Arti Nama Dodi Reza
Oke! Kupikir ada yang salah dengan sang ibu. Wanita dengan jilbab motif macan tutul itu terlalu menyalahkan anaknya. Bukankah dia juga harus mengecek kembali semua barang bawaan? Kalau dia merasa anak gadisnya tidak bisa diandalkan, apa salahnya menyiapkan segala sesuatunya sendiri? Toh si anak—aku menduga—baru berumur sebelas atau dua belas tahun.
Jika aku jadi wanita itu, aku akan mengambil ponselku dan meminta seseorang di rumah membawakan boneka itu ke stasiun. Kereta Cirebon Ekspres—yang juga akan kunaiki pagi ini—baru akan datang satu jam lagi. Kupikir itu waktu yang cukup. Ya, kecuali jika ibu dan anak itu hanya tinggal berdua di rumah, siapa yang akan membawakan boneka itu kemari?
Kutinggalkan pandanganku pada ibu dan anak itu. Mereka masih saja berdebat soal boneka beruang. Membuatku sedikit penasaran dengan bentuknya.
Baca Juga: Di Tengah Hujatan Publik, Dodi Reza Pemimpin Yang Pro Kaum Tani
Tiba-tiba seseorang sudah berdiri tepat di hadapanku. Seorang pria dengan celana denim dan kemeja putih dan sekuntum bunga warna merah di tangan kanannya. Kurasa itu mawar. Tatapannya sendu, juga setengah sedih. Namun, bibirnya menyungging senyum tulus. Ia melihat ke arahku. Ah, tidak! Ia melihat kursi yang aku duduki!
***
“Nggak bawa tas, Mas?” tanya petugas pintu masuk padaku. Kuperhatikan petugas itu hanya sekilas saja memeriksa tiket dan tanda pengenalku. Lalu, ia membubuhkan stempel SESUAI IDENTITAS DAN TELAH DIPERIKSA pada tiketku.
“Nggak, Pak,” kujawab meski enggan.
“Mau ke Cirebon?” tanyanya lagi.
“Iya.”
Ayolah. Sudahi saja basa-basi ini. Aku ingin segera sampai ke peron.
Baca Juga: PKS DKI Jakarta Menolak Nama Mustafa Kemal Attaruk Akan Dijadikan Nama Jalan di Menteng
“Bunga mawarnya nggak takut layu duluan sebelum sampai ke Cirebon?”
“Ah, enggak. Aku cuma butuh satu jam aja. Setelah itu, bunga ini bisa berpindah tangan.”
Artikel Terkait
Guru Berdaster
Kita Membutuhkan Kata Saling
PUISI: Aku Akan Menangis Lain Kali
PUISI: Rembulan Menangis
CERPEN: Pertemuan Kedua
PUISI: Sekisah Cappucino
Puisi Cevi Whiesa Manunggaling Hurip.
PUISI: Melukis dalam Doa dan Harapan