Baca Juga: Kata Ganjar Pranowo, Lho, Kalah Main Bal (bola) kok Kafir
"Apa suamimu tidak marah, kita bertemu seperti ini?"
"Kalau tahu mungkin marah."
"Tadi pamitnya ke mana?"
"Kalau dia masih ingat, tujuanku satu-satunya, ya, ke toko buku, tiap pamit mau jalan-jalan."
"Jam segini apa dia belum pulang?"
Aku melirik jam tanganku sebelum menjawab, "Jam sembilan masih pagi buat Mas Surya. Apa Mas Kumbang mau pulang sekarang?"
"Aku?" Dia tertawa. "Bertemu dan ngobrol denganmu sangat menyenangkan. Makanya aku sengaja menunggumu. Apalagi aku masih bujangan, jadi bebas nggak ada yang marah, yang aku pikirkan justru kamu."
Aku sangat mengerti dengan apa yang dikatakannya. Untuk itu, walaupun berat aku yang kemudian memutuskan untuk menyudahi pertemuan kami hari itu. Dia menolak. Ini tanpa kusadari sangat membuatku bahagia. Agak ragu, sepertinya aku berharap hubungan kami akan terus berlanjut. Ternyata harapanku menjadi kenyataan.
Setelah itu, hubungan kami berlanjut dengan pertemuan-pertemuan berikutnya yang tak dapat lagi kuhindari. Bahkan kemudian sangat kuinginkan.
Tiap kali Kumbang menelpon dan mengajakku untuk bertemu, saat itulah aku merasakan perlahan-lahan semangat hidupku yang hampir hilang tumbuh kembali.
Aku akan segera menemuinya tanpa berbasa-basi untuk menolaknya terlebih dahulu. Kegembiraan yang kurasakan benar-benar tak sanggup kututupi. Sungguh aku tidak tahu kenapa terjadi seperti ini. Aku benar-benar tidak tahu.
~
Baca Juga: Inilah 4 Kebijakan Pemerintah Cegah Masuknya Omnicron ke Indonesia, Karantina Jadi Lebih Lama
Sebenarnya tidak ada yang istimewa dari hubungan dan pertemuan-pertemuan kami yang berusia masih sangat muda itu. Kami hanya mengisinya dengan berbincang dan bercanda. Kadang bertukar cerita tentang pengalaman masing-masing.