RESENSI BUKU: Hal-Hal yang Dibicarakan Ketika Raymond Carver Bicara Soal Cinta

photo author
- Senin, 27 Desember 2021 | 09:43 WIB
Ilustrasi (Sekar_Mayang)
Ilustrasi (Sekar_Mayang)

Baca Juga: Resmi, Laga Leeds Vs Aston Villa Ditunda karena Covid-19, Jumlah Pemain Leeds Kurang untuk Diturunkan

Atau, ketika kita menyimak cerpen berjudul Ketenangan, kita tidak mengira bahwa seorang pria bisa merasa tenang hanya karena usapan-usapan lembut jemari seorang tukang cukur di kepalanya. Yeah, seorang tukang cukur. Dengan jenis kelamin pria.

Satu lagi adalah cerpen berjudul Oleh-oleh yang lagi-lagi menyebut objek tersebut sambil lalu dan malah sibuk menceritakan hal lain. Akan tetapi, jika ditilik lebih jauh, apa yang dikisahkan Tuan Palmer kepada anaknya, Les, bisa menjadi oleh-oleh yang bisa ‘dinikmati’ seumur hidup. Itu pun jika Les membiarkan oleh-oleh tersebut tetap di tempatnya. Ya, sebab, siapa pun bisa memilih untuk meninggalkan sebuah bingkisan dari seseorang dan melupakannya.

Bisa disimpulkan, teknik bercerita Carver mengandalkan kelugasan. Ia bercerita. Selantang dan sepolos mungkin. Namun, kita akan mendapat kesan bahwa ia tidak peduli apakah pembaca mendapatkan sesuatu yang orang-orang sebut sebagai pelajaran moral dari apa yang ia ceritakan. Sah-sah saja, memang. Toh penulis tidak bertanggung jawab atas moral pembaca, atau moral siapa pun juga.

Menu Penuh Gizi Berbahan Kegetiran

KBBI daring menuliskan makna kegetiran sebagai kepahitan, penderitaan atau kesusahan hidup (diakses 27 Desember 2021). Ini adalah bahan utama para pengrajin kata-kata dalam menghasilkan produk seni mereka.

Baca Juga: Perkembangan Omicron di Indonesia, Ada Tambahan 27 Kasus, Mereka Baru Pulang dari Luar Negeri, Total 46 Kasus

Carver sendiri menuliskan hidup, kehidupan, dan segala kegetirannya seolah-olah mereka adalah kekasihnya. Begitu detail, begitu menyakitkan, begitu ingin membuatmu menangis atau bahkan menjerit kencang. Ini bukan semata-mata karena Carver mengalaminya sendiri, tetapi hidup memang tidak lepas dari dukacita. Ia akan selalu berdampingan, bergandengan, berangkulan dengan sukacita.

Dalam pengantar yang tertulis di sampul belakang, kita akan mendapati mengapa Carver banyak—jika tidak ingin mengatakan nyaris semua—menyajikan akhir kisah yang menohok. “Sebelum menjadi penulis, dia pernah menjajal berbagai pekerjaan kasar sehingga dia amat paham daki-daki kehidupan.

Ya, pengalaman hidup bisa jadi sumber bahan bakar yang baik. Kita punya stok rasa dan penjiwaan untuk kisah-kisah yang kita tulis, sekalipun itu fiksi.

Baca Juga: BMKG Sumsel Beri Peringatan Dini terhadap 9 Daerah, Waspadai Hujan Lebat, Kilat Disertai Angin Kencang

Dualitas adalah keniscayaan. Jika kalian selalu menangkap kegetiran dalam karya-karya Carver—atau karya siapa pun di dunia ini—sebenarnya di sana ia (juga mereka) mencoba untuk menciptakan kebahagiaan yang manis.

Kita menulis untuk berbagai macam tujuan. Salah satunya adalah membuang sampah. Emosi-emosi yang membuat hati dan pikiran berkarat harus dibuang. Menulis, terlepas dari tujuan komersial, adalah cara membuang sampah yang efektif. Seni mengosongkan pikiran yang luar biasa indah. Siapa pun bisa melakukannya dan tidak perlu serta-merta mendapat label sebagai penulis.

Sebagaimana sebuah karya seni, kumpulan cerita, baik yang getir maupun yang manis, selayaknya dipandang sebagai keindahan. Dunia dan Semesta tercipta dari keindahan, meskipun keindahan tersebut tidak jarang kita temukan di sela-sela keburukan.

Baca Juga: 5,4 Juta Lebih Dosis Vaksin Moderna dan AstraZenica Tiba di Indonesia, Vaksin Hasil Donasi dari Program COVAX

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Insan Purnama

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

X