Melepas Keriuhan, Menyambut Keheningan

photo author
- Selasa, 4 Januari 2022 | 16:27 WIB
Ilustrasi (Sekar_Mayang)
Ilustrasi (Sekar_Mayang)

 

KLIKANGGARAN--Pergantian tahun 2019 ke 2020 mungkin merupakan keriuhan normal yang terakhir kita rasakan sebelum pandemi menguasai kehidupan. Pesta kembang api seolah-olah simbol mutlak peralihan hari yang seharusnya gelap gulita, seharusnya dilalui dalam keheningan seperti halnya Nyepi.

Kehidupan tidak lepas dari dualitas. Adanya manis karena kita mengenal pahit. Adanya terang karena kita paham bagaimana rupa gelap. Begitu pula keriuhan, hanya akan hadir ketika senyap ikut berkuasa, ketika keheningan benar-benar terjadi.

Beberapa orang mungkin hanya ingin merasakan keriuhan tanpa ingin berdekatan dengan keheningan. Ada dikotomi yang tampak jelas. Bahwa keriuhan adalah baik, bahwa keheningan adalah sebaliknya. Pasar yang riuh tentu lebih baik ketimbang pasar yang hening. Riuh berarti ada perputaran uang. Riuh berarti roda kehidupan berjalan.

Sekumpulan orang berada dalam satu ruangan. Mereka bertalian darah atau terhubung atas dasar pertemanan. Riuh rendah suara mereka, diselingi tawa yang menggelegak layaknya lava matang di kawah gunung. Ekspresi wajah semringah. Dekap dan peluk dihamburkan bersamaan dengan tegur sapa yang riang.

Baca Juga: CA Tertangkap Kasus Prostusi, Mengapa Artis Bisnis Begituan?

Akan tetapi, sebelum keriuhan itu dimulai, sebelum para pedagang membuka lapak mereka, sebelum pembeli datang silih berganti, sebelum tempat pertemuan diisi sekian banyak orang, sebelum tegur sapa terdengar, ada hening yang menyelimuti tempat itu. Tempat apa pun, di atas Ibu Bhumi.

Kamus memaknai riuh sebagai sangat ramai (tentang suara); hiruk-pikuk; gaduh. Maka, sebagai lawan kata, hening diartikan sebagai diam; sunyi; sepi; lengang. Padahal, masih ada makna lain, yaitu jernih; bening; bersih. (KBBI Daring, diakses 4 Januari 2022)

Jernih, bening, dan bersih, jika ingin ditegaskan, sudah barang tentu berkonotasi positif. Air yang jernih, bening, dan bersih tentu lebih layak dikonsumsi daripada yang keruh, tidak bening, dan kotor.

Berkaca dari ritual Nyepi, kita diminta untuk mematikan sejenak beberapa hal yang sehari-hari melekat dalam kehidupan. Tidak menyalakan api atau lampu, tidak bepergian, tidak bekerja, dan tidak bersenang-senang. Semua harus diam, semua harus tenang.

Baca Juga: Viral! Bendera Merah Putih Terpasang Terbalik di Kantor Kades Gerinam, Kabupaten Muara Enim

Idealnya, ketika Nyepi, kita diminta merenung. Napak tilas kepada kehidupan yang sudah kita jalani, mencari kesalahan-kesalahan yang pernah kita perbuat. Bukan untuk menuntut ganti rugi kepada Semesta (sebab sejatinya semua kesalahan terjadi karena pilihan sendiri dan menjadi tanggung jawab sendiri pula), tetapi sebagai pelajaran semata. Tentu kita tidak ingin kesalahan serupa terjadi di masa depan, kan?

Tidak bepergian dan tidak bekerja juga bermakna memberi tubuh istirahat. Tubuh akan mendaur ulang apa yang tidak diperlukan, lalu memperbarui yang telah rusak. Proses ini hanya akan terjadi ketika tubuh dan pikiran rileks. Jelas, itu tidak bisa terjadi ketika kita bepergian atau bekerja.

Mengapa kita diminta untuk hening saat Nyepi?

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizinĀ redaksi.

Editor: Insan Purnama

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

Nilai-Nilai HAM: Antara Janji Moral dan Kenyataan Sosial

Selasa, 16 Desember 2025 | 09:38 WIB

Dugaan Perjudian di Gacha Game dan Loot Box di Indonesia

Minggu, 14 Desember 2025 | 14:51 WIB

PKB Blunder, M Nuh dan Nusron Berkibar

Jumat, 12 Desember 2025 | 19:39 WIB

Konflik di PBNU dan Hilangnya Ruh Khittah Ulama

Senin, 8 Desember 2025 | 16:19 WIB

OPINI: Ketika Rehabilitasi Menyalip Pengadilan

Kamis, 4 Desember 2025 | 12:25 WIB
X