Satu lagi yang bisa menegaskan keutuhan negara adalah menjadi milenial yang cinta Tanah Air. Dengan cinta, seseorang akan menjadi tulus bekerja. Dengan cinta, seseorang menjadi tulus melakukan segala sesuatunya.
Melalui pelajaran Sumpah Pemuda, seorang milenial mesti mencintai Tanah Airnya. Tidak mudah tergoda dengan pernak-pernik yang sebetulnya kurang sesuai atau pantas dengan kelaziman di negara kita.
Jangan mudah juga terpancing oleh kompor-kompor yang mengatakan bahwa agama mereduksi budaya bangsa, bahwa agama menghilangkan budaya bangsa. Ke mana sila pertama Pancasila kalau begitu?
Baca Juga: Tanpa SOP, Kerja Sama PT Inhutani II dengan PT Kaltim Izzi Perkasa Menuai Piutang Rp5,1 Miliar
Tidak apple to apple ketika seseorang membanding-bandingkan agama dan negara. Kalau mau, yang pantas itu membanding-bandingkan negara dengan fanatisme ormas, partai, atau kelompok.
Seseorang yang fanatik buta terhadap kelompok bisa jauh dari sikap kenegarawanan. Pikirannya hanya keuntungan semata buat kelompoknya. Bukan buat negara. Ini yang pas buat ditanya di TWK CPNS sebetulnya, “Apakah kelompok Anda atau negara yang utama?”, terlebih di negara yang tidak pernah sepi dengan pemberitaan korupsi pejabat negara, yang dalam hal ini abdi negara.
Baca Juga: Besok, Pilkades Serentak Adalah Ujian Bagi Demokrasi PALI
Perang Kata-Kata karena Kurang Cinta Tanah Air
Perang kata-kata antarmilenial di medsos boleh jadi karena kurang cinta Tanah Air. Cinta kepada pilihannya, kepada kelompoknya, kepada komunitasnya lebih dominan daripada kepada negara.
Akhirnya, apa yang dilakukan oleh orang di luar kelompoknya selalu salah. Lalu, ketika ada kritik, malah dianggap hinaan. Sikap-sikap seperti ini mulai detik ini seharusnya hilang dari pribadi milenial. Berpikir positif dan mendahulukan cinta Tanah Air dapat menjadi tips menghindari hal-hal tersebut.
Baca Juga: LDII Trending di Twitter Dituduh Baiatnya Menyimpang, Apa Jawaban Pengurusnya?
Pemerintah, Media, Milenial Menjadi Pemersatu Bangsa
Di momentum Sumpah Pemuda ini kita cukupkan perang kata-kata, hinaan, dan lain-lain di medsos. Pendukung si A, pendukung si B, pendukung partai A, pendukung partai B, pendukung kelompok A, pendukung kelompok B harus dewasa. Dan media juga harus bisa menjembatani pembelajaran kedewasaan akan perbedaaan tersebut dengan sebaik-baiknya.
Media, yang juga digawangi milenial, upayakan tidak mengutamakan rating semata. Tapi mengutamakan keutuhan bertanah air, berbangsa, dan berbahasa sesuai dengan semangat Sumpah Pemuda. Netizen, yang mungkin rata-rata milenial, tidak mudah terpancing. Tapi mengutamakan sikap ber-bhinneka tunggal ika, memprioritaskan cinta Tanah Air, sesuai semangat Sumpah Pemuda, Tanah Air satu, Tanah Air Indonesia!
Pemerintah yang dalam hal ini Kementerian Komunikasi dan Informatika juga sebaiknya lebih berperan kepada usaha mendamaikan perang kata-kata tersebut. Salah satunya dengan kebijakan-kebijakan yang mempersatukan, seperti Sumpah Pemuda dahulu yang mempersatukan.
Artikel Terkait
Dipimpin Wadansatgas, Prajurit Yonif 125/Simbisa Turut Serta Mendukung dan Memeriahkan Acara Peringatan Hari Sumpah Pemuda Ke-92 di Sota
Peringati Hari Sumpah Pemuda Ke-92, Satgas Yonif 642 Ajarkan PBB Kepada Anak-Anak Perbatasan
Pemuda Pancasila Kota Bekasi Terus Bangun Semangat Sumpah Pemuda Dan Pancasila
Peringatan Sumpah Pemuda, Hipni: Pemuda Tangguh, Daerah Maju
Yuk ke Museum Sumpah Pemuda, Ketahui Dulu Sejarah dan Lokasinya!
CERITA ANAK: Berkat Sumpah Pemuda
Sumpah Pemuda Terlupakan, Halloween Dirayakan