Nyeri tak dirasakannya, yang ada hanya ingin berbagi kebahagiaan. Tusukan-tusukan pedih di setiap pori-pori kulit pun tak dirasakannya agar kebahagiaan benar-benar dapat dinikmatinya.
"Jangan biarkan hati ini merintih, Tuhan. Pangeranku tak tahu bahwa sikapnya ini membuatku pedih. Izinkan aku berbagi kebahagiaan dengannya dan damaikan hatiku, agar aku benar-benar bahagia untuknya." Lagi-lagi Titan berbisik dalam hati.
~
Baca Juga: Drakor Pinocchio: Satu Menggonggong Diikuti Sekampung Akan Menjadi Bumerang
Pada hari kesekian Titan masih harus kecewa menemukan mamanya belum juga bisa berdamai dengan kenyataan yang mereka hadapi. Juga untuk kesekian kalinya dia masih melihat air mata di wajah cantik itu. Wajah yang telah kehilangan senyum bahagia. Wajah yang masih berlari mencari maaf untuk cinta yang berlalu tiba-tiba.
Dan, untuk kesekian kali mamanya tidak mengizinkan dia menemui papanya. Walau hanya sekedar mengucap rindu. Mamanya masih belum bisa mengerti bahwa kerinduan di hatinya tak dapat diusir begitu saja.
"Maafkan Titan, Ma. Titan tahu Papa telah menyakiti kita berdua, tapi bukan hak Titan untuk mengadili Papa. Apa pun kesalahan Papa terhadap Mama, Titan tetap anak Papa dan Mama. Sudah seharusnya Titan hormat pada Papa dan Mama."
"Kamu tidak tahu bagaimana rasanya dikhianati, Titan, bagaimana rasa kehilangan cinta dan kepercayaan."
"Titan tahu, Ma, sangat tahu bagaimana rasanya, tapi tetap saja sama. Titan di sini hanya sebagai anak, yang tak boleh tak hormat pada orang tua, bisakah Mama mengerti ini?"
"Anak dari seorang papa yang tak pernah lagi memberi penghidupan? Anak dari seorang papa yang tak lagi peduli mau ke mana dan jadi apa anaknya itu?"
"Izinkan Titan menemui Papa, Ma. Mungkin dengan begitu Papa akan kembali mengingat kehadiran kita di sisi lain hidupnya, mengingat bahwa kita adalah salah satu lembaran hidup yang tak bisa dia lupakan begitu saja."
Baca Juga: Drakor Pinocchio Bicara Soal Media, Ini yang Harus Anda Waspadai
"Tak bisakah kamu memberikan sedikit lagi kelonggaran waktu untuk Mama, Sayang? Mama hanya ingin mengobati dulu luka ini. Mama hanya ingin yakin bahwa Mama tak akan kehilanganmu juga."
Hening sejenak. Titan membiarkan Mamanya menghabiskan tangis, lalu dipeluknya perempuan cantik itu dengan lembut.
"Tolonglah Mama mengerti apa yang sedang Titan coba untuk hayati. Titan tidak mengingkari bahwa Papa menyakiti kita. Tapi, biarlah itu menjadi urusan Papa dengan Tuhan, Ma. Kita sama sekali tidak berhak untuk mengadili, karena kita juga tidak tahu apakah hanya Papa yang benar-benar memiliki kesalahannya."
Artikel Terkait
Cerpen: Wanita Jalang
Cerpen: Lelaki di Balik Layar 1
Cerpen: Lelaki di Balik Layar 2
Cerpen: Lelaki di Balik Layar 3
Cerpen: Ternyata Kau Bukan Lelaki
Hari Ayah dan Kado Cerpen Sang Ratu
Cerpen Batu Cinta