"Demi anak-anak kita."
"Aku tak perlu izin darimu. Aku yang berkuasa di sini. Ini perahuku dan kamu hanya menumpang di sini."
"Apa kau tidak menceraikan aku terlebih dahulu?" Teratai menelan ludah.
"Apakah itu perlu?"
"Seperti pada saat kau mengambilku dari pangkuan ibuku, maka saat itu juga kau memberikan status untukku. Sekarang kau ingin pergi dan meninggalkanku. Apakah kau tidak ingin menghormatiku dengan memberikan status baru untukku?"
"Aku, kan, sudah bilang, ini perahuku, dan kau tidak berhak sedikit pun untuk mengaturku. Aku akan kembali ke sini jika memerlukanmu nanti, tapi jangan lagi bertanya kapan saat itu. Tugasmu adalah menjaga dan merawat kedua putriku dengan baik," jawab Barata dingin, kemudian berlalu meninggalkan rumahnya dengan gagah dan rasa kemenangan yang membiusnya. Tak lama kemudian sosoknya hilang dari pandangan Teratai di antara rumah-rumah pedesaan dan pepohonan bisu.
"Aku akan menjaga dan merawat darah dagingku tanpa kau minta! Dan, kelak jika mereka sudah dewasa, aku tak akan melepaskan mereka dari pangkuanku pada lelaki sepertimu!" jawab Teratai pada angin dan pepohonan di depan rumahnya.
~
Baca Juga: Putusan MK tentang UU Cipta Kerja, ASPEK: Batalkan Semua Peraturan Turunan UU Cipta Kerja!
Dengan sorot mata kelam Teratai menikmati bayangan yang sangat dia rindukan. Hatinya ingin mencegah langkah untuk kembali lagi ke batu itu, tapi cinta dan kesakitannya lebih kuat mendorongnya ke sana dan ke sana lagi. Pada hari yang sama, jam yang sama, di setiap minggu. Di mana dilihatnya Samurai masih ke sana dan mengulang baris puisi yang pernah dipahatnya dengan darahnya.
Teratai menatap Samurai dari balik pepohonan dengan bermandikan air mata kerinduan dan kesakitan. Ditunggunya sampai Samurai pergi dari sana, lalu diusapnya lembut tiap syair yang diukirkan kembali oleh Samurai, kemudian duduk bersandar pada batu itu.
Teratai memejamkan matanya yang lelah kemudian berbisik, "Wahai batu saksi bisu cintaku, sampai kapan aku harus tersiksa seperti ini? Aku tak sanggup menyaksikan air mata istrinya yang sedang hamil jika kelak kusatukan cinta kami."
~
"Bunda, apakah Minggu ini Bunga masih bisa menginap di rumah Nenek?" tanya si kecil dengan tatapan penuh harap.
Artikel Terkait
Monolog Sepatu Bekas
Cerpen: Wanita Jalang
Cerpen: Lelaki di Balik Layar 1
Cerpen: Lelaki di Balik Layar 2
Cerpen: Lelaki di Balik Layar 3
Cerpen: Ternyata Kau Bukan Lelaki
Hari Ayah dan Kado Cerpen Sang Ratu