“Jangan kamu berpikir seperti kebanyakan perempuan lain.”
“Berpikir apa?”
“Kamu pikir, yang penting hati dulu dihijab kan?”
“Memang iya kan?”
“Iya apanya? Bagaimana caranya menutupi hati dengan hijab?”
“Ya, dengan cara...” Aku agak bingung menjawab.
“Hijab adalah penutup aurat bukan penutup hati. Kalau kamu menghijabi hati, itu artinya kamu menutupi hatimu. Kenapa hatimu kau tutup? Bagaimana kalau ada hidayah hendak masuk sementara hati kau tutupi? Ok, mungkin yang kamu maksud hati ditutupi dari debu-debu yang mampu mengotorinya. Semisal ujub, riya, takabur dan sum’ah. Ini membuat kamu berpikir, yang penting kamu tidak ujub, yang penting kamu tidak riya, yang penting kamu tidak takabur, yang penting kamu tidak sum’ah berarti kamu sudah memakai hijab.”
Baca Juga: Jika Digelar Tahun ini, Muktamar ke-34 NU untuk Siapa ?
“Iya.”
“Kamu salah. Untuk bisa menjaga hati kamu harus bisa menjaga dirimu dari api neraka?”
“Neraka? Memangnya yang berhijab pasti akan masuk surga?”
“Tidak.”
“Terus kenapa menjudge perempuan yang tidak berhijab pasti masuk neraka?”
“Aku tidak menjudge. Hanya sedang bermain logika saja.”
“Logika bagaimana?”
Artikel Terkait
Beredar Isu Minta Jabatan di BUMN, Denny JA Klarifikasi Lewat Cerpen
Anggota Parlemen Prancis Walkout di Parlemen sebab Perwakilan Mahasiswa Hadir dengan Mengenakan Hijab
Indonesia Hadapi China dengan Klaim Kepemimpinan Islam Moderat
Hamas: Kami telah Buktikan Kepada Dunia bahwa Al-Aqsa Milik Umat Islam dan Al-Quds Adalah 'Garis Merah'
DPR Minta Masyarakat Tak Perlu Gaduh Soal "Hormat Bendera Menurut Hukum Islam"
Jamaluddin al-Afghani, Pendiri gerakan Pan Islam, Dimakamkan di Turki, Lalu Dipindahkan ke Afghanistan