“Jangan menangis, Ru. Kamu tahu aku tidak suka melihatmu menangis.”
Aku tidak pernah bisa menuruti keinginannya yang satu itu.
Baca Juga: Kerja Sama dengan PNM, Sandiaga Uno Berikan Akses pada 34 Juta Pelaku Parekraf
“Aku sudah tidak sakit lagi, Ru. Aku bahagia sekarang. Terima kasih untuk kamu yang juga tidak pernah lelah menguatkanku dan menemaniku ketika aku hendak pulang.”
Tubuh Moy makin tak terjangkau penglihatanku.
“Sampai jumpa lain waktu, Ru. I love you.”
Dan, Moy menghilang sama sekali.
“I love you too, Moy. Always love you.”
Kujatuhkan kepalaku ke meja, bertumpu pada kedua lengan yang terlipat. Aku menangis sejadi-jadinya, meskipun Moy sudah melarangku. Padahal, kalau kalian tahu, ini perjumpaanku yang entah keberapa kalinya dengan Moy. Selalu di sini, di taman kota, tempat favoritku bersamanya. Aku selalu mengulang ceritaku tentang Yuna, tentang diriku di masa lalu, tentang harapan-harapanku bersama Kirana dan Dira di masa depan.
“Ayah?”
Aku tahu itu suara Kirana. Anak itu tahu, jika ayahnya sudah seperti ini, maka sudah waktunya kami bertiga pulang.
Aku mengangkat kepalaku dan mendapati Dira menyodorkan saputangan kesayangannya. Saputangan yang selalu menyeka sisa-sisa kesedihanku karena kepergian Moy.
Terlalu banyak luka yang diterima Moy, baik luka fisik maupun batin. Ditambah lagi hatinya yang teramat rapuh, membuat dirinya mustahil bisa pulih seperti dulu. Sejak Moy pindah ke tempat baru, ia hanya sanggup bertahan beberapa bulan. Aku yang menemaninya di sisa waktu yang ada. Moy tertidur dengan tenang di pelukanku, sampai aku tahu, jiwanya sudah pergi.
“Kita beli permen kapas, ya, Ayah,” pinta Dira. “Beli empat,” katanya sambil menunjuk keempat jari mungilnya.
Artikel Terkait
Dua Gelas Kisah Bagian Delapan
Dua Gelas Kisah Bagian Sembilan
Dua Gelas Kisah Bagian Sepuluh
Dua Gelas Kisah Bagian Sebelas
Dua Gelas Kisah Bagian Dua Belas
Dua Gelas Kisah Bagian Tiga Belas