Jika saja Moy tahu, betapa sulitnya aku menahan diri untuk tidak meraih jemarinya, membawanya ke wajahku, memandang matanya, dan berkata bahwa ia tak perlu mengkhawatirkan apa-apa lagi. Ada aku di sisinya, ada aku yang selalu membelai hatinya. Namun, semuanya tidak boleh terjadi. Hati Moy terlalu rapuh untuk merasakan sakit lagi. Sebab, cinta baginya adalah rasa sakit yang luar biasa.
Baca Juga: Perpani Banyumas Segera Gelar Kejurkab dan Open Turnamen
“Berbahagialah kamu dengan dua mataharimu, Ru. Itu nikmat luar biasa yang berhak kamu rasakan.”
Lalu, terjadilah.
Yang tidak ingin kulihat.
Yang tidak ingin kualami … lagi.
Inginnya aku mengalihkan pandangan ke arah lain, tetapi tak bisa. Mataku tetap tertuju pada sosok di hadapanku … yang kini menjadi agak transparan. Masih bisa kulihat jelas senyumnya. Senyum yang selalu terbingkai sempurna di wajahnya. Senyum yang tak ingin kulupa sampai kapan pun.
Senyum Moy.
Baca Juga: Dua Gelas Kisah Bagian Tiga Belas
“Aku tidak pernah menghilang, Ru.”
“Moy ….”
“Tidak akan pernah ….”
“Please, Moy ….”
“Aku akan singgah lagi kapan-kapan.”
Aku tidak tahan lagi. Air mataku tumpah begitu saja.
Artikel Terkait
Dua Gelas Kisah Bagian Delapan
Dua Gelas Kisah Bagian Sembilan
Dua Gelas Kisah Bagian Sepuluh
Dua Gelas Kisah Bagian Sebelas
Dua Gelas Kisah Bagian Dua Belas
Dua Gelas Kisah Bagian Tiga Belas