Selepas makan siang, Kirana dan Dira kembali ke taman. Kali ini mereka hanya duduk di bangku panjang sambil membaca buku yang sengaja mereka bawa dari rumah. Buku bagi mereka adalah penyembuh. Mereka tidak lagi ketakutan, tidak perlu lagi bersembunyi jika mendengar orang bicara dengan nada tinggi.
“Aku ingat, kamu membawa Kirana dan Dira pada kunjunganmu yang kedua kalinya.”
Itu betul. Aku membawa Kirana dan Dira ke tempat tinggal Moy. Awalnya kukira mereka berdua akan takut melihat kondisi Moy, tetapi kekhawatiranku tidak beralasan. Nyatanya, Moy bahkan banyak memberi respons positif.
“Aku ingat, mereka menemaniku duduk di teras. Dira menyisir rambutku dan Kirana menyuapi aku sepotong keik cokelat. Keiknya enak sekali, Ru. Di mana kamu membelinya? Pasti dari toko roti mahal di mal, ya?”
Aku tertawa. “Tidak, Moy. Keik itu buatan ibuku. Ibu membuka toko roti kecil di rumah. Ibu tahu, aku hendak mengunjungimu, jadi beliau buatkan spesial untukmu.”
“Ah, senangnya. Sayang sekali, aku tidak pernah sempat bertemu ibumu, Ru, padahal aku ingin tahu wajah perempuan yang menjadi malaikat pelindungmu.”
“Nanti akan ada waktunya, Moy.”
Setelah kunjungan kedua itu, aku meminta Moy untuk pindah ke tempat yang lebih dekat denganku dan anak-anak. Ia tidak menjawab, tetapi binar matanya sudah bicara banyak.
Artikel Terkait
Dua Gelas Kisah Bagian Lima
Dua Gelas Kisah Bagian Enam
Dua Gelas Kisah Bagian Tujuh
Dua Gelas Kisah Bagian Delapan
Dua Gelas Kisah Bagian Sembilan