Taman ini terasa begitu sepi selepas tengah hari. Tidak ada yang lalu-lalang di trek joging. Pojok baca pun hanya tampak dua orang saja: satu penjaga, satu pengunjung. Kirana dan Dira masih asyik membaca di bangku panjang. Dan, aku sendiri, masih duduk berhadapan dengan Moy.
Alis Moy nyaris menyatu, tanda ia sedang berpikir. Wajahnya kelihatan lucu ketika sedang serius berpikir.
“Kenapa senyum-senyum?” tanya Moy. Wajahnya bersemu.
Aku menggeleng cepat. “Tidak ada apa-apa.”
“Yakin?”
“Iya.”
“Kamu selalu senyum-senyum sendiri kalau merasa ada sesuatu yang aneh padaku.”
Baca Juga: US Open 2021: Singkirkan Peraih Medali Emas Olimpiade Tokyo, Djokovic Akan Bertemu Medvedev di Final
“Oke, aku kalah,” sahutku. “Aku cuma merasa wajahmu lucu ketika sedang berpikir.”
“Lucu, ya?” Moy menyipratiku dengan embun es dari gelas miliknya. “Sekali lagi kamu bilang aku lucu, aku absen datang pada pertemuan berikutnya.”
Aku malah tertawa. Sebab, ucapan Moy tidak akan terjadi. Ia tidak pernah absen hadir di taman ini. Akulah yang sesekali tidak menampakkan diri. Banyak hal menghalangi. Pekerjaan, urusan anak-anak, kadang kondisi tubuhku yang tidak memungkinkan aku seharian penuh berada di luar rumah. Banyak hal. Namun, Moy tidak pernah protes. Jika sudah begitu, pada pertemuan berikutnya, aku harus merayunya agar tidak cemberut sepanjang hari.
“But, it is true, Moy. You always look amazing to me.”
Baca Juga: PDPDE Sumsel Disebut Tak Mampu Jadi Perusahaan Nasional, Feri: Justru Menjadi Alat Para Maling
Semu kembali muncul di wajah Moy. Semu itu dulu tidak pernah ada. Warna merah di sana hadir dari darah yang betulan keluar dari pembuluhnya. Ah, mengingat hal itu, aku jadi sangat marah kepada Chris. Manusia macam apa lelaki itu—tega menyakiti perempuan?
Artikel Terkait
Dua Gelas Kisah Bagian Tujuh
Dua Gelas Kisah Bagian Delapan
Dua Gelas Kisah Bagian Sembilan
Dua Gelas Kisah Bagian Sepuluh
Dua Gelas Kisah Bagian Sebelas