fiksi

Surat Bersampul Hitam

Senin, 29 November 2021 | 12:10 WIB
Cepen Surat Bersmapul Hitam (Dok.klikanggaran.com/Blackrose)

"Kamu mau berkelit, ya? Nggak ada calon dan nggak mau."

"Kenapa?"

"Sama kamu. Oke? Aku maunya sama kamu, Mawar. Alangkah bahagianya diriku, andai kamu bisa mengerti ini. Tolong jangan pernah lagi bicarakan ini dan jangan memaksaku!"

Setelah itu Kumbang berdiri dan pergi meninggalkanku begitu saja. Aku bahkan tidak sempat mengatakan satu patah kata pun. Ketika aku hendak mengejarnya, mataku seolah terbakar oleh apa yang tak sengaja sedang kusaksikan.

Suamiku sedang duduk di meja tak jauh dari tempat kami duduk. Tangannya melingkar erat dan mesra pada pundak seorang gadis yang duduk di sampingnya. Gadis itu bergelayut tak kalah mesra di bahunya.

Aku buru-buru ke meja kasir dan membayar pesanan kami karena sepertinya Kumbang melupakan itu. Kemudian, dengan hati tak menentu aku berlari ke pintu keluar rumah makan, tapi Kumbang sudah menghilang.

Air mata tak dapat kutahan lagi, entah apa yang kutangisi. Kutinggalkan rumah makan itu, tak tahu harus ke mana. Aku berjalan tak tentu arah diiringi bayangan wajah Kumbang, Mas Surya, dan gadis di sebelahnya.

Jalanan yang masih ramai di sana terasa senyap bagiku. Aku tak mengerti apa yang sedang terjadi pada diriku. Aku bahkan tidak ingin tahu siapa gadis yang bersama suamiku. Aku juga tidak ingin tahu sejauh mana hubungan mereka. Aku tak peduli lagi apa yang dilakukan Mas Surya untuk menyakitiku.

Baca Juga: Warganet Merasa Resah dengan Sikap Doddy Sudrajat, Ayah Vanessa Angel. Kenapa ya?

Aku sibuk mencerna kalimat Kumbang. Apakah maksudnya? Kepada siapa aku minta penjelasan? Rasanya aku sangat bahagia seandainya Kumbang benar-benar menginginkan diriku, tapi entah kenapa aku juga merasakan kesakitan yang tak dapat kulukiskan dengan kata-kata. Aku benar-benar merasakan kesakitan.

Setelah itu, selama satu minggu dia tidak menghubungiku lagi. Aku benar-benar dilanda kebingungan dan tanda tanya. Tiap saat kupandangi ponselku dengan cemas dan penuh harap. Sampai aku sadar bahwa api harapanku yang menyala-nyala membakar jiwa ragaku ini harus segera kupadamkan. Sebelum membakar anak-anakku juga. Bagaimana dan apa pun caranya.

Aku kembali dihempaskan ke dalam kesepian yang lebih menyakitkan. Hatiku lebih murung dari sebelumnya, tapi kali ini dengan sekuat tenaga kusembunyikan. Di hadapan anak-anak aku tetap bertahan dengan sikap ceria.

Waktu untuk sebaris kebahagiaan bersama Kumbang datang terlalu cepat padaku. Sebelum aku sempat menikmatinya sudah berakhir pula dengan cepat. Pertemuan kami yang baru dimulai seperti membawaku ke tengah lautan yang aku sendiri tidak menyadari, kapan mulai berlayar dan ke mana hendak berlabuh.

Aku tetap tersenyum dengan ramah tiap suamiku pulang dengan wewangian asing dan lipstik menempel di baju kerjanya. Begitu juga aku tetap menyiapkan segala keperluannya sebelum dan sepulang kerja.

Dalam diam aku terisak tiap ingat Kumbang. Kata-kata manis dan harapan yang diguyurkannya serasa meremukkan puing-puing dinding hatiku. Begitu pun kehangatannya, membahagiakan sekaligus memberangus jiwaku.

Halaman:

Tags

Terkini

Mirwa dan Lautan

Jumat, 11 April 2025 | 08:17 WIB

Nala, si Pemalas

Rabu, 27 November 2024 | 13:54 WIB

Si Kacamata Hitam dan Pengamen Jalanan

Rabu, 27 November 2024 | 06:49 WIB

Peristiwa Aneh di Rumah Nenek

Minggu, 24 November 2024 | 17:06 WIB

Elena Valleta: Si Putri Hutan

Minggu, 24 November 2024 | 09:01 WIB

Melodi yang Tidak Selesai

Jumat, 22 November 2024 | 07:04 WIB

Horor Malam Jumat Kliwon: Mempelai Dua Dunia

Kamis, 24 Oktober 2024 | 22:52 WIB

Horor Malam Jumat Kliwon: Rumi di Bukit Terlarang

Kamis, 24 Oktober 2024 | 18:11 WIB