"Ah, bisa aja."
"Benar, kamu memang cantik, secantik namamu."
Itulah awal perkenalanku dengan Kumbang di suatu sore di sebuah toko buku. Aku tidak tahu dari mana datangnya, tiba-tiba saja laki-laki itu sudah berada di hadapanku. Saat itu aku sedang membuang kejenuhan dan hendak mencari bacaan yang dapat membuatku bersemangat lagi menghadapi hari-hariku yang semakin suram.
Entah kenapa, semakin hari hubunganku dengan Mas Surya, suamiku, semakin dingin. Terlihat damai, tapi terasa gersang. Tiap aku berusaha untuk memperbaikinya, selalu berakhir dengan pertengkaran.
Aku tidak ingin suatu saat pertengkaran kami diketahui anak-anak kami. Maka dari itu, aku mulai menahan diri untuk tidak membicarakan apa-apa lagi. Aku menelan segala hal dan setiap masalah dalam diam. Lalu tidak ada lagi pertengkaran di antara kami.
Tetapi, rasanya hati kami semakin hari semakin pudar dan jauh. Sampai aku seringkali merasa tak mampu lagi untuk mendekat. Pernikahan kami lambat laun bagai gelas kristal tak berisi, hingga tak ada lagi yang perlu kami aduk di sana. Tak ada rasa yang perlu kami satukan di sana.
Baca Juga: Dugaan Korupsi di BUMD Kota Palembang, SP2J Capai Setengah Triliun
~
"Halo, Mawar," sapa laki-laki bernama Kumbang itu saat aku kembali ke toko buku yang sama beberapa hari kemudian.
"Hei! Kok, bisa ketemu lagi, ya?" jawabku, tidak yakin dia benar-benar laki-laki yang kutemui waktu itu.
"Aku sering memperhatikan kamu dari jauh tiap kali kamu ke sini."
"Oh, ya? Kenapa rupanya?"
"Keren."
"Apanya?"
"Kita memiliki hobi yang sama. Aku juga suka menghabiskan waktu dengan belanja buku-buku."