"Jadi sudah satu tahun lebih kami tidak pernah lagi saling bertemu. Aku cuma bisa memandangnya dari jauh," bisik Teratai dalam hati.
"Ibu mengenal mereka?"
"Oh, enggak. Berapa Bu semuanya?"
Baca Juga: Proyek PT Waskita Karya, Laporan Bulanan Pembangunan Jalan Tol Becakayu Dinilai Tidak Akurat?
Teratai membayar belanjaannya dan keluar dari toko itu sambil menundukkan kepala. Langkahnya dia percepat dan berhenti di balik pohon berdahan rindang. Matanya tak mau lepas dari rumah yang semakin ramai oleh tamu itu, dengan air mata berlinang penuh harap.
Hari ini adalah hari di mana keduanya biasa bertemu dalam bisu dan bersatu dalam syair di batu cinta mereka. Tapi, dilihatnya Samurai begitu sibuk dengan keluarganya.
"Apakah Samurai telah melupakan hari ini?" rintih Teratai dalam kepedihan hati.
Diletakkannya bungkusan belanjaan di tanah, tangannya gemetar mencengkeram batang pohon dengan hati kesakitan. Kepalanya menunduk, bersandar pada pohon dan semakin kencang mencengkeram.
"Aku tidak boleh seperti ini. Kekasihku sudah berada di tempat yang seharusnya. Pernikahan yang diberikan padaku dan dia hanyalah perantara atas kehidupan kami. Aku tidak berhak memelihara cinta yang datang pada waktu yang salah ini. Kerinduan dan cintaku harus kusimpan dengan rapi agar aku tidak terus mengintip kebahagiaannya," hibur Teratai pada dirinya sendiri.
Diambilnya belanjaan dan menatap sekali lagi ke rumah di ujung jalan sebelum melangkah. Ditelusurinya jalanan menuju ke bukit di mana batu cintanya menunggu. Langkahnya limbung menahan pedih dan hampa. Hatinya merintih, tak tahu hendak ke mana lagi melabuhkan lelah penantian.
Hampir penuh batu besar itu oleh syair yang pernah digoreskannya di sana. Samurai terus mengulang syair yang pernah dituliskan Teratai pada pertemuan terakhir mereka.
Teratai mendapatkan sedikit ruang kosong pada ujung batu. Dia mencari bongkahan tanah merah, dan memenuhi ruang kosong pada batu itu untuk menuliskan syair perpisahan.
Teratai menatap sekali lagi pada batu cintanya, lalu meninggalkan tempat itu dengan hati hampa. Sambil berjalan limbung perempuan itu berjanji pada dirinya sendiri, akan dirajutnya kehidupan tanpa sakit bersama lagu cinta di setiap waktu bercengkerama dengan-Nya.
Teratai berusaha membujuk dirinya sendiri, banyak hal indah di depan sana yang telah disediakan untuknya dan kedua putrinya. Maka dia paksa bibirnya menyungging sebuah senyuman. Angina lembut bertiup mengiringi langkah Teratai meninggalkan batu cintanya.