Menjual Nelangsa serta Kemiskinan Melalui Aib dan Nasib

photo author
- Minggu, 26 September 2021 | 16:37 WIB
Sampul buku 'Aib dan Nasib' (Klikanggaran/Sekar_Mayang)
Sampul buku 'Aib dan Nasib' (Klikanggaran/Sekar_Mayang)


Klikanggaran.com-- Membaca Aib dan Nasib adalah membaca nelangsa, sengsara, dan kemiskinan. Semuanya berbaur menjadi sajian yang bisa saja merontokkan hati. Rontok dalam artian yang jauh dari baik, yang sekiranya membuat kita bertanya-tanya, “Di mana Tuhan ketika ada ketidakadilan menyerbu?”

Sejak halaman pertama, Aib dan Nasib langsung menyeret kita ke dalam sejuta permasalahan. Tampaknya sang penulis enggan berbasa-basi, ingin pembaca langsung merasakan derita dan dilema para tokohnya. Lewat fragmen-fragmen pendek, penulis menyajikan konflik-konflik yang sama sekali tidak pendek. Konflik-konflik yang sekiranya layak mendapat julukan problem tanpa solusi. Nyaris tanpa solusi.

Aib dan Nasib bersetting di Indramayu, salah satu wilayah pantura yang gersang, amat berdebu, dan panas. Tegalurung dan Tegalsembadra menjadi sentral lokasi kisah-kisah di dalamnya. Dengan sejuta permasalahan para tokohnya, penulis jelas ingin mengaduk-aduk perasaan pembaca. Mengajak mereka ikut merasakan getir dan emosi yang meluap-luap. Tentunya dengan cara tak biasa, yaitu melihat langsung ke inti masalah: kemiskinan.

Baca Juga: 'Relasi' Firli Bahuri dan Azis Syamsuddin di Bulan September Sejak 2019

Tidak dimungkiri, Indramayu dikenal sebagai salah satu dari sekian banyak lumbung TKI di negeri ini. Setiap tahunnya, ribuan orang mengadu nasib sebagai buruh migran ke berbagai negara. Dalam novel ini, Singapura adalah negara tujuan favorit, meskipun dalam kenyataannya, Hong Kong, Taiwan, serta Korea Selatan, bahkan negara-negara di Timur Tengah, juga menjadi sasaran mencari pekerjaan. Dan, tidak dimungkiri juga, nyaris semua yang berangkat menjadi buruh migran adalah perempuan.

Nasib membuat mereka terpaksa melakoni pekerjaan level bawah, yaitu buruh. Bukan berarti ini pekerjaan tidak halal, hanya saja, menjalaninya jelas tidak mudah. Pekerjaan di sektor informal memang cukup berlimpah di luar sana. Salah satunya karena penduduk lokal jarang ada yang mau menekuninya kalau tidak terpaksa. Pun, standar penghasilan antara buruh lokal dan buruh migran cukup lumayan selisihnya. Jelas, buruh migran lebih murah. Namun, murah di luar, tetap akan menghasilkan banyak jika sudah dirupiahkan. Itulah yang menarik minat kebanyakan penduduk negara ini. Tidak mengherankan jika tiap tahunnya, jutaan orang berbondong-bondong mengadu nasib di luar negeri.

“Orang bilang aib sama saja dengan nasib.” (halaman 106)

Siapa pun tidak ingin mendapat aib. Hal-hal memalukan, cela, noda, salah, dan kekeliruan, jelas bukan sesuatu yang patut dibanggakan. Sebisa mungkin kita menyembunyikan dari penglihatan orang lain. Sebab, bukan tidak mungkin, jika tampak mata, hal-hal memalukan itu malah jadi bahan pergunjingan, seperti yang dialami para tokoh dalam novel Aib dan Nasib. Mulai dari masalah kenakalan remaja, cekcok rumah tangga, hamil di luar nikah, kemiskinan, serta keserakahan, serasa tak putus-putus, sambung-menyambung, menjelma lingkaran setan.

Baca Juga: Wisata Pantai di Tegal Ramai, Pengunjung Abaikan Prokes Pengawasan Petugas Lemah

Mereka yang berlakon dalam novel ini bukannya tidak mau mencari kebahagiaan. Setiap hari adalah perjuangan menaikkan taraf hidup. Segala cara mereka lakukan, mulai dari yang normal sampai yang tidak lazim, akan tetapi Dewi Fortuna tampaknya enggan berkunjung. Kalaupun ada yang merasa sedikit di atas angin, hal itu tidak bertahan lama. Mereka langsung tumbang begitu disenggol sedikit dari bawah.

Kemiskinan dan kebodohan boleh dibilang sejoli yang menghasilkan kualitas hidup seseorang menjadi tiarap tanpa sempat bangun. Kondisi finansial yang tidak baik membuat seseorang tidak bisa mengakses fasilitas pendidikan secara penuh. Memang, ada ungkapan yang mengatakan bahwa ilmu tidak selalu didapat dari bangku sekolah, akan tetapi pencarian akan ilmu jelas membutuhkan pengorbanan. Selain waktu dan tenaga, dana adalah salah satu faktor utama keberhasilan dalam mendapat ilmu pendidikan. Kalaupun tidak melalui institusi formal, media pendukung seperti alat tulis dan buku bacaan tetap harus dibeli dengan uang, sementara sehari-hari mereka pun masih berjuang untuk mengumpulkan rupiah demi sepiring nasi dan garam.

Dahulu kita mengenal Jane Austen dengan novel-novel romansa yang cukup menguras air mata untuk pembaca pada zamannya. Ketidakberdayaan seseorang meraih perhatian dari orang terkasih menyebabkan nelangsa seakan-akan tanpa ujung. Bukan harta atau jabatan yang membuat mereka terpuruk, melainkan ketidakpedulian yang didapat justru dari orang-orang yang sangat mereka harapkan. Dari sini kita paham bahwa penyebab derita tidak melulu berkaitan dengan materi. Seseorang yang sangat kaya raya dapat merasa sengsara dalam waktu lama hanya gara-gara tidak ada satu orang pun yang mau berteman dengannya.

Lalu, dari Pulang milik Leila S. Chudori, kita tahu bahwa nelangsa adalah kerinduan akan tanah kelahiran yang terhalang tembok tebal bernama tuduhan status politik. Betapa label bisa membuat segalanya runyam, padahal sematan itu hanya asal saja, berdasar pada penelusuran yang dangkal.

Baca Juga: Diplomat Ini Membungkam Tudingan Vanuatu yang Menutup Mata Atas Pembunuhan Guru, Perawat oleh KKB di Papua

Konflik memang menu utama pada sebuah karya fiksi. Bahkan, dapat dikatakan sebuah keniscayaan. Tidak ada karya fiksi yang tidak mengandung konflik. Tinggal sekarang kita lihat, konflik tersebut kuat atau tidak. Jika konflik terlihat hanya sebagai tempelan, pembaca mungkin akan cepat bosan. Barangkali itu yang dilihat Minanto, jadi ia dengan garangnya menjejali pembaca segenap konflik sejak awal bab. Ia jelas tidak ingin pembaca cepat bosan dengan bukunya.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizinĀ redaksi.

Editor: Insan Purnama

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

Nilai-Nilai HAM: Antara Janji Moral dan Kenyataan Sosial

Selasa, 16 Desember 2025 | 09:38 WIB

Dugaan Perjudian di Gacha Game dan Loot Box di Indonesia

Minggu, 14 Desember 2025 | 14:51 WIB

PKB Blunder, M Nuh dan Nusron Berkibar

Jumat, 12 Desember 2025 | 19:39 WIB

Konflik di PBNU dan Hilangnya Ruh Khittah Ulama

Senin, 8 Desember 2025 | 16:19 WIB

OPINI: Ketika Rehabilitasi Menyalip Pengadilan

Kamis, 4 Desember 2025 | 12:25 WIB
X