KLIKANGGARAN -- Menurut pemantauan FSGI, kondisi saat ini literasi dan moderasi beragama di dunia pendidikan masih belum cukup baik. Kondisi ini memberi kontribusi bagi terjadinya intoleransi misalnya pelarangan dan pemaksaan pemakaian jilbab yang merupakan simbol dan identitas kepada pihak lain.
FSGI mencatat bahwa sejak 2014 sampai dengan 2022 tercatat sejumlah kasus intoleransi yang terjadi di satuan pendidikan, seperti pelarangan peserta didik menggunakan jilbab atau penutup kepala sebanyak 6 kasus (2014-2022).
Selain itu, FSGI mencatat terjadi pemaksaan (mewajibkan) peserta didik menggunakan jilbab/kerudung sejumlah 17 kasus (2017-2022); diskriminasi kesempatan peserta didik dari agama minoritas untuk menjadi Ketua OSIS ada 3 kasus (2020-2022); dan kewajiban sholat dhuha sehingga sejumlah peserta didik perempuan harus membuka celana dalamnya untuk membuktikan bahwa yang bersangkutan benar sedang haid/menstruasi sejumlah 2 kasus (2022).
Kasus-kasus tersebut terjadi di Rokan Hulu (Riau), Banyuwangi (Jawa Timur), Sragen (Jawa Tengah), Bantul dan Gunung Kidul (D.I. Yogjakarta), Kota Padang (Sumatera Barat), Kota Tangsel (Banten), Kota Depok, Kabupaten Bogordan Kab. Bandung (Jawa Barat), Denpasar dan Singaraja (Bali), Maumere (NTT), Manokwari (Papua), dan DKI Jakarta.
Sekolah negeri merupakan lembaga pendidikan formal yang dimiliki oleh negara dan dioperasikan menggunakan anggaran negara secara langsung maupun tidak, baik melalui APBD maupun APBN yang dihimpun dari pembayaran pajak yang disetorkan oleh seluruh warga negara yang beragam.
“Umumnya sekolah-sekolah negeri siswanya pasti beragam agama, suku dan status sosial, oleh karena itu kebijakan sekolah negeri juga harus menghargai keberagaman, tidak menyeragamkan,”tegas Heru Purnomo, Sekjen FSGI, yang juga Kepala SMPN di Jakarta.
Heru menambahkan,”Seharusnya tidak ada lagi sekolah-sekolah negeri yang memaksakan siswinya memakai jilbab. Sebab hal itu bertentangan dengan kebhinekaan Indonesia yang mesti dijunjung, dirawat dan dikokohkan. Apalagi Pendidikan secara prinsip harus berorientasi pada kepentingan siswa, nonkekerasan dari simbolik, verbal hingga tindak kekerasan lainnya.”***