KLIKANGGARAN -- Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) mencatat bahwa kebijakan paling menghebohkan dan menimbulkan pro kontra di lapangan dari Mendikbudristek Nadiem Makarim adalah kebijakan “Merdeka Belajar” yang berjilid-jilid.
FSGI menyaksikan di lapangan bahwa kebijakan yang sebenarnya bagus secara konsep, namun tidak berhasil membumi sehingga menimbulkan potensi Pendidikan Indonesia tengah berada pada fase konflik.
“Cerita Merdeka Belajar yang berjilid-jilid dan tidak pernah selesai seakan menuju akhir episode yang menghawatirkan. Gagasan kebijakan sampai implementasi di lapangan masih jauh panggang dari api,” ujar Heru Purnomo, Sekjen FSGI.
Heru menambahkan bahwa,”Sebenarnya Merdeka Belajar yang diusung Kemendikbudristek ini memiliki tujuan untuk mencapai pendidikan berkualitas bagi seluruh rakyat Indonesia melalui transformasi pada 4 hal, yaitu infrastruktur dan teknologi, kebijakan, prosedur dan pendanaan untuk kepemimpinan masyarakat dan budaya serta kurikulum pedagogis dan penilaian (asesmen). Namun, tampaknya di level pemahaman kebijakan ini saja, masih jauh dari harapan”.
Bermasalah Dari Pendaftaran Hak Merek Merdeka Belajar
Sejak konflik merek Merdeka Belajar FSGI selaku organisasi profesi guru telah memberikan kritik dan rekomendasinya, namun kebijakan ini terus ditayangkan bahkan kini telah mencapai 22 Episode. “Benarkah semuanya telah menuju kearah transformasi Pendidikan Indonesia, apakah setiap episodenya berjalan berkesinambungan, apakah dapat terlihat masa depan pendidikan Indonesia yang berkualitas ataukah justru terbaca tujuan spekulatif yang tidak berkelanjutan?”, ujar Mansur, Wakil Sekjen FSGI.
Terobosan Merdeka Belajar Episode-1, dengan empat bidang sasaran, yaitu: (1) Mengganti UN menjadi Asesmen Nasional, bahkan membatalkan UN 2020, (2) Menghapus USBN yang bertepatan dengan Pandemi Covid-19(3) Menyederhanakan RPP menjadi 1 Lembar, (4) Menyesuaikan kuota jalur prestasi maupun zonasi. “Kebijakan ini telah cukup memberi angin segar pendidikan Indonesia ketika itu. Kenyataannya adalah tidak semua episode Merdeka Belajar berdampak bagi pendidikan, bahkan tidak sedikit yang dinilai kontra produktif terhadap kelangsungan program pendidikan di Indonesia”, tambah Mansur yang juga guru dan Wakasek di Lombok Barat.
Ketika Episode-4 Program Organisasi Penggerak (POP) diluncurkan, kontan berbagai reaksi ketidak percayaan publik mengemuka. “FSGI memberikan kritik keras dimulai dari proses rekrutmen hingga model impelementasinya. Apa yang terlihat hingga paruh ke-2 tahun bukanlah sebuah kemajuan yang diharapkan”, ungkap Eka Ilham, Kepala Bidang Diklat FSGI.
Eka menambahkan,”Dari fakta lapangan diketahui bahwa kebanyakan pelatihan model online yang diikuti oleh para guru sekolah sasaran sebatas pelatihan 1 – 3 jam atau paling lama dengan durasi 3 hari, kebanyakan berisi teori tanpa dibekali praktik dan tidak disertai pendampingan. Kebanyakan guru justru bingung saat akan mencoba mengimplementasikan, karena tidak ada contoh-contoh praktik yang sudah dilakukan. Akibatnya, pelatihan hanya tinggal pelatihan yang berujung sekedar pengetahuan tanpa implementasi”,
Kebijakan Merdeka Belajar Minim Dukungan Pemda
Pada Episode-5 Program Guru Penggerak (PGP) yang diniatkan sebagai Program pendidikan kepemimpinan bagi guru untuk menjadi pemimpin-pemimpin di masa depan yang mewujudkan SDM unggul Indonesia. Secara konsep program ini sangat baik dan jika berhasil dipercaya dapat menjadi program yang akan berdampak besar pada pendidikan di Indonesia.
“ Namun, fakta lapangan menunjukkan bahwa proses seleksi dan pelatihan yang lama bagi Calon Guru Penggerak (CGP) bukannya menjamin perubahan paradigma pembelajaran pada CGP tetapi justru telah menyita waktu dan tenaga para CGP. Bahkan banyak tugas-tugas pokok guru yang mereka abaikan hanya untuk mengejar status lulus”, ujar Fahmi Hatib, Presidium FSGI.
Kebijakan Kemendikbudristek pada program guru penggerak, sebagian besar energi Merdeka Belajar dikerahkan kepada guru penggerak. “Iming-iming calon kepala sekolah, bahkan perubahan nama kantor menjadi serba guru penggerak hanya akan berdampak pada kuantitas yang belum tentu berkelanjutan,” tambah Fahmi yang juga Kepala Sekolah di kabupaten Bima.
Padahal logikanya, pola pembelajaran daring melalui LMS dengan sesekali pertemuan luring tidak sepenuhnya mengubah pola pikir dan pola tindak CGP. “Apalagi kriteria lulus yang lebih bersifat administratif belaka hanya mengejar kuantitas dan sangat jauh dari cita-cita perubahan paradigma pembelajaran yang berkualitas”, ujar Fahriza Marta Tanjung, Wakil Sekjen FSGI.
Artikel Terkait
Prediksi Bencana dan Diamnya Kaum Linuwih
Polemik Ucapan Selamat Natal dan Perayaan Tahun Baru: Ritual Umat Islam di Indonesia Setiap Akhir
DPP Hisminu: Pendidikan Kita Semakin Tidak Mengindonesia
Membedah Kurikulum Madrasah Diniyah Takmiliyah (MDT) di Indonesia
Guru MDT di Persimpangan Regulasi UU Guru dan Dosen
Peta Jalan Pendidikan Menuju Indonesia Emas Tak Kunjung Ditetapkan, Hisminu Berikan Catatan Kritis
Malam Tahun Baru 2023: Ide Perayaan Di Rumah yang Ramah Anggaran tapi Tetap Kece
Refleksi Akhir Tahun 2022: Membangun Soliditas FKDT Menuju Kemandirian Organisasi