KLIKANGGARAN -- Perempuan dihadapkan pada pembuktian yang keras terkait dengan keterlibatanya dalam politik.
Demokrasi tanpa perempuan menjadi tak seimbang, “laki-laki dan perempuan seharusnya saling melengkapi dalam mewujudkan demokrasi yang maju”.
Barangkali itu kalimat penting yang menjadi dasar semangat pentingnya kesertaan perempuan dalam keterlibatannya di ranah politik, khususnya pengawasan pemilu.
Kompleksitas tantangan pengawasan kedepan di tahun pemilu adalah soal bagaimana memaksimalkan perempuan secara jumlah dan substantif perannya dalam pengawasan pemilu.
Dalam konteks pengawasan pemilu dan regulasi telah menjamin keterwakilan perempuan 30 %. Negara juga memastikan jaminan dan kepastian hukum bagi keterlibatan perempuan di dalam Undang-Undang Pemilu No 07 Tahun 2017.
Beberapa catatan kritis atas perempuan dan kesertaannya dalam pemilu bisa ditilik dari regulasi Undang-Undang pemilu yang belum maksimal diterapkan di Indonesia.
Terkait dengan isu soal kesetaraan gender, terus menjadi isu dari pemilu ke pemilu. Narasi “menyertakan perempuan” dalam politik menjadi hal yang wajib untuk dipenuhi.
Namun ironis, terhadap implementasi di lapangan tidak berbanding lurus. Hal tersebut dikarenakan baik perempuan maupun laki-laki adalah soal “Subyek” yang sama dan mempunyai bentuk kesetaraan dalam hal hak dan kewajibannya sebagai warga negara Indonesia.
Namun pada prakteknya keterlibatan dan kesertaan perempuan belum mencapai hasil yang maksimal dan ramah gender.
Soal perempuan dan pemenuhan kuotanya dalam keterlibatan pemilu masih menggunakan “memperhatikan”, sehingga ditafsirkan menjadi makna “mendorong secara maksimal keterpenuhannya” atau “memenuhi sekedarnya”.
Kilas balik soal adanya rekam jejak sejarah gerakan perempuan secara global atas adanya konvensi internasional maupun konvensi Undang-Undang pemilu menjadi bagian perjuangan perempuan atas point penting yang menghasilkan kehadiran 30 % keterwakilan perempuan di ranah politik.
Hal lainnya soal klausul perempuan secara praktek masih belum maksimal kesertaannya dalam pemilu.
Beberapa catatan kritis soal aspek budaya yang memperlemah posisi perempuan antara lain adalah budaya patriarki yang kuat di Indonesia.
Lalu, sangat maskulinnya keputusan dan atmosfer politik di tubuh partai politik, kemudian belum kuatnya dorongan lingkungan politik terhadap kader perempuan dalam pemilu.