Lantas kau bayangkan, bagaimana ia yang sudah kau pacari sejak SMP tiba-tiba dilamar Tuhan, masuk seminari dan meninggalkanmu dengan hati remuk-redam? Engkau toh tak mungkin menantang Tuhan berkelahi untuk merebutnya kembali? Temanku tidak setuju. Dia bilang, Tuhan pencemburu, Ia tak akan biarkan kekasih-kekasih-Nya berwajah terlalu cantik. Agar tidak dicuri dunia. Ada benarnya juga, pikirku.
“Lewat kegelapan gaun panjangmu
Dalam kerudung putih imanmu
Engkau jadi nampak teduh
Pada Dia Yang Agung
Pada kesucian sangkakala
Hari megah
Aku mendekap cintamu Theresia
Seakan dentang lonceng katedral tua
Terdengar dalam hujan dan angin lama
Sedang aku berdiri di luar sana
Sendiri
Dalam airmata bahagia
Kutuliskan namamu
Oh kutuliskan namamu
Lewat putra lelakiku”
(“Babtis Theresia”, Nyanyian Cinta, 1980)
Baca Juga: Ketika Video Luna Maya Viral, Ada Masalah Terkait Pemenuhan SDM di KPK
Dari ujung ke ujung aku hapal belaka semua lagu-lagu Leo Kristi seperti wiridan sakral. Baru-baru ini aku ketawa ngakak membaca catatan FB seorang teman lama yang Lker juga (note: Lker sebutan untuk penggila Leo Kristi). Sungguh tepat ia menamakan Lkers yang menginthil Leo manggung di mana pun itu sebagai Jamaah Kristi’iyah. Mungkin lebih tepat lagi Jamaah Tarekat Kristi’iyah. Dan Leo adalah seorang mursyid. Sebagai mursyid, sebagai “wali”, ia adalah dari jenis yang khaarikul ‘aadah (berperilaku ganjil). Dalam dunia perwalian beneran, kira-kira seperti almarhum Gus Mik, Kediri atau Mbah Lim, Klaten. Begitulah.
Setelah batinku porak-poranda menyaksikan dua atau tiga kali pementasannya di Gedung Kesenian Jakarta dan TIM (mungkin juga sekali di Yogya, aku lupa), aku bersumpah tidak akan lagi menonton pementasan-pementasannya. Sungguh berantakan, tidak siap, benar-benar amatir. Jauh dari semua ekspetasi estetikku. Sungguh, engkau hanya seperti menonton seorang bonek (Leo memang asli Surabaya) yang mementaskan musiknya secara norak, cengengesan, njelehi. Batinku tidak siap untuk itu. Pernahkah engkau melihat Leo Kristi bicara? Ia akan cuma bergumam seperti orang mendem. Tapi bukankah seorang wali seperti Mbah Lim juga gagu berbicara? Konon, menurut Gus Dur, kegaguan Mbak Lim hilang seketika untuk beberapa urusan, yaitu mengaji, menyanyikan Indonesia Raya dan menelepon Gus Dur sendiri. Wallahu alam.
Serius. Sebagai wiridan, lagu-lagu Leo Kristi keramat. Sampai sekarang aku percaya cerita seorang teman, katanya ia ikut andil menumbangkan Soeharto lewat wiridannya yang tak pernah putus beberapa bulan menjelang Reformasi 1998:
“Peringatan dalam diam
Tak satu lelap di sini
Jelang empatpuluh tahun merdeka
Angin lebih dingin dari biasa
Srek srek.. tak tak
Tak tak tak tak
Suara penyapu jalan
Bercampur dengan deru roda kereta
Berjanjilah dalam janji...”
Sekiranya engkau gondok dan sebel pada SBY sekarang ini, coba saja wiridkan suwuk ala temanku ini. Siapa tahu...
Ya, ya. Karena aku sendiri juga sering berkirim doa pada Mbok Ginah melalui wiridan berikut:
“Kenanga cina
Rambatan panjang di jendela kelabu
Kenangan cinta
Rambatan panjang di jendela hatiku
Slalu...”
Beberapa tahun lalu, anakku sulung keheranan,