Bagi saya, menjadi Indonesia itu tidak mudah. Beruntung pada masa kanak dan remaja saya dulu, saya menemukan musik Leo Kristi. Musiknya banyak mengajari saya --setidaknya saya jadi sedikit lebih mengerti dan turut merasa "menjadi Indonesia" melalui lagu-lagunya.
----
Ini cerita keluargaku. Hingga umur 3 atau 4 tahun aku masih suka digendong dan ditidurkan oleh MbokGinah. Terutama jika aku rewel dan susah tidur. Namun, ada yang tak lazim: ia lebih sering membawaku ke kebun belakang kami yang gelap.
Dan terjadilah drama yang sama itu, dengan jurus pamungkasnya sebuah tembang yang ia rengeng-rengeng-kan, Mbok Ginah tinggal menungguku mengeluarkan air mata –tapi bukan tangis-- lantas biasanya tak lama kemudian akupun terlelap dengan damai.
Cerita tentang “keanehan” drama antara aku dan Mbok Ginah ini beredar di kalangan famili dan keluargaku. Beberapa di antara mereka bahkan memerlukan bertandang ke rumahku, hanya agar bisa menyaksikannya sendiri “secara live”. Ketika aku beranjak dewasa, mereka suka meledekku,
“... jangan-jangan itu bukan tembang, tapi mantra... Lagipula, ia suka menggendongmu ke dekatpapringan, kan?”
Dengan bercanda mereka mengingatkanku bahwa Mbok Ginah dulunya seorang dukun, sebelum beranjak tua dan kemudian mengasuhku sejak bayi. Aku hanya bisa ketawa kecut dan tidak pernah benar-benar menanggapi.
Ayah dan almarhumah ibuku pun ternyata tidak mengetahui apa yang dulu Mbok Ginah tembangkan.
“Itu bukan tembang dolanan, mungkin sejenis mocopat kuno yang sekarang sudah punah,” kata Ibu.
Ada serpihan kenangan yang masih aku ingat. Kenangan paling jauh dari masa kanak-kanak dan bayiku tentang musik.
Baca Juga: Sebanyak 60 Desa Pilkades Serentak di Kabupaten Batang Hari, Tetap Mengacu Standar Prokes Covid-19
Artikel Terkait
Bukan Puisi, Hanya Opini
Refleksi Kompleksistas Wanita dalam Cerita Fiksi, Ternyata Ada di Dunia Nyatanya Lho
Mengapa Artikel Non Fiksi yang Ditulis Para Pegiat Fiksi Cenderung Lebih Enak Dibaca?