Moy berdiri tak jauh dari bangku taman yang tadi ia duduki. Tepian gaun Moy meriap-riap pelan, mengikuti gerak angin yang membelai tubuhnya. Ia memunggungiku, menatap ke arah Kirana dan Dira yang sedang asyik bermain gelembung sabun. Moy melambai pada mereka, tetapi dua bocah itu hanya melirik sekilas dan kembali berjibaku dengan gelembung-gelembung berpelangi.
Moy berbalik dan kembali duduk di hadapanku.
“Aku tidak pernah melihat mereka seceria itu, Ru. Sungguh melegakan.”
“Iya, Moy, sungguh melegakan.”
“Aku bahkan masih ingat bagaimana wajah Kirana dan Dira ketika pertama kali aku melihat mereka. Di balik keceriaan mereka, gelak tawa mereka, aku tidak melihat adanya cahaya, tidak ada semangat. Mereka amat ketakutan.”
Aku menghela napas. Kuhempaskan punggungku ke sandaran bangku taman. Pandanganku jauh menembus tanah di bawahku. Perjalanan yang sesungguhnya baru akan dimulai. Namun, jika bisa memilih, aku ingin melupakannya.
“Aku tahu, pernikahan adalah sesuatu yang membahagiakan. Fase hidup yang didamba banyak orang. Sebagian bahkan melalui perjuangan yang tidak mudah.” Aku mendengar suaraku sendiri. Terasa jauh dan menyedihkan. “Dan, aku memang bahagia, Moy.” Aku kembali menatap perempuan berkacamata yang amat kusayangi itu. “Kamu tahu itu.”
Moy tersenyum. “Aku tahu, Ru.”
Artikel Terkait
Cerpen: Wanita Jalang
Cerpen: Lelaki di Balik Layar 1
Cerpen: Lelaki di Balik Layar 2
Cerpen: Lelaki di Balik Layar 3
Dua Gelas Kisah Bagian Satu
Dua Gelas Kisah Bagian Dua